Lihat ke Halaman Asli

Fahrizal Muhammad

Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Tersesat di Jalan yang Benar

Diperbarui: 26 Maret 2020   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi fahrizal muhammad

Ada cerita cukup menarik dari sebuah kelas pelatihan di Hotel Selecta, Batu, Malang, Jawa Timur, Oktober 2005. Ketika itu hadir sebagai peserta seorang mahasiswi jurusan Teknik Elektro ITB. Ketika memasuki sesi perencanaan hidup, ia berbagi di hadapan seluruh peserta: selama ini hidupnya mengalir saja seperti arus air dan tanpa perencanaan apa-apa. Untung saja, katanya, dia sudah tersesat di jalan yang benar. Coba bayangkan bila dia tersesat di jalan yang salah, bisa jadi ia tidak akan ada di ruangan tersebut.

Tersesat di jalan yang benar! Jangan-jangan ini pulalah yang telah terjadi pada sebagian besar kehidupan kita. Tanpa kita sadari, sejumlah hal baik selama ini kita peroleh dalam derajat kemudahan tertentu dan tanpa rencana. 

Oleh karena itu, kita tidak benar-benar menyadari bahwa pencapaian kita hakikatnya merupakan satu upaya sadar dalam kerangka besar sebuah perencanaan hidup yang komprehensif dan holistik. Jangan-jangan selama ini semua diperjuangkan sesaat, on the spot, dan dalam semangat "gimana besok aja!"

Metamorfosis Rencana

Hidup dengan rencana memang belum menjadi trend apalagi habit. Dia masih menjadi wacana di ruang kelas pelatihan dan akademis. Mengapa? 

Karena, pertama,  rencana itu wilayah ide. Dia tak nyata, setidaknya untuk saat ini.  Membayangkan sesuatu yang belum nyata membutuhkan energi lebih karena belum adanya pengalaman. Kalau pun ada pengalaman orang lain tentang itu, tidak serta merta dapat diterjemahkan melalui langkah yang persis sama karena pasti sudah berjarak pada banyak hal: tempat, waktu, dan aktornya.

Kedua, yang kita visualisasikan bukanlah sesuatu yang pernah kita alami dan bukan sesuatu yang biasa kita lakukan. Ala bisa karena biasa, begitu kata pepatah. 

Sedangkan ini berbeda dengan pengalaman kita sebelumnya. Barangkali yang setidaknya dapat membantu adalah pengalaman dalam bidang yang sama pada dimensi yang berbeda. Pembiasaan berpkir tentang sesuatu yang transendental pada titik ini sangat diperlukan. Terlalu lama menenggelamkan diri dalam suasana dan kebiasaan berpikir sekadar untuk kekinian dan kebendaan sangat tidak membantu.

Ketiga, kekuatan visual mensyaratkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu yang kita bayangkan. Kenal dan tahu harus naik statusnya menjadi paham dan mengerti. Sejumlah informasi penting dan perbendaharaan pengetahuan tentang itu mestilah kita miliki. Atau paling tidak, dunia itu bukanlah sesuatu yang asing tetapi telah menjadi sesuatu yang kita "dekati" meskipun baru dalam tataran ide. 

Itu artinya, kecenderungan pada dunia itu sangat menentukan tingkat pemahaman kita. Sebelum kita mendetailkan rencana tentang sesuatu sejumlah informasi penting mestinya telah menjadi bagian dari pengetahuan kita. Dengan demikian, kita punya modal yang cukup memadai untuk mengimplementasikan apa yang disarankan oleh Covey tentang perlunya "mendahulukan yang utama (first thing first)".

Keempat, Keterampilan visualisasi pun pada akhirnya menuntut kesabaran untuk menekuri tiap inci hal baru dalam satu rangkaian perencanaan yang boleh jadi masih asing. Namun demikian, sesuatu yang belum kita kenal tapi ingin sekali kita ketahui dengan baik justru seringkali memunculkan rasa ingin tahu yang kuat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline