Lihat ke Halaman Asli

eva

mahasiswa

Bank syariah dalam bayang bayang konvensional : krisis inovasi dan tantangan diferensiasi

Diperbarui: 2 Juli 2025   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Bank syariah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan sistem keuangan yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga menjunjung nilai-nilai spiritual, keadilan sosial, serta keberkahan dalam aktivitas ekonomi. Sistem ini dirancang untuk menghindari praktik yang dilarang dalam Islam seperti riba (bunga), gharar (ketidakjelasan), dan maisyir (spekulasi), serta mengutamakan transparansi dan hubungan yang setara antara bank dan nasabah. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Pasal 3 yang menegaskan bahwa tujuan utama perbankan syariah adalah mendukung pembangunan nasional dengan menegakkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan (Hidayat & Surahman, 2017). Di samping itu, bank syariah juga didorong untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor produktif guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan sosial. Dengan nilai-nilai luhur tersebut, bank syariah semestinya dapat menjadi motor penggerak ekonomi umat, khususnya di Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.

Namun dalam realitanya, cita-cita ideal tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam praktik. Bank syariah memang mengusung konsep keuangan yang adil dan inklusif, namun implementasinya masih jauh dari harapan. Salah satu persoalan mendasar adalah minimnya pembeda antara produk-produk bank syariah dengan produk bank konvensional. Akad murabahah, misalnya, yang secara teori merupakan transaksi jual beli dengan penambahan margin keuntungan, dalam praktiknya sering kali menyerupai kredit berbunga. Tak sedikit masyarakat yang menilai bahwa perbedaan antara keduanya hanya terletak pada istilah. Sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan edukasi yang cukup dari pihak bank, sehingga pemahaman publik terhadap konsep dan mekanisme syariah masih rendah (Sidharta, 2017).

Survei OJK tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan syariah masih rendah, hanya mencapai 8,11 persen. Sementara itu, inklusi keuangan syariah baru menyentuh angka 11,6 persen (OJK, 2016). Jangkauan layanan bank syariah pun masih terbatas, baik dari sisi jumlah kantor maupun ketersediaan ATM di wilayah-wilayah strategis. Ditambah lagi, penggunaan istilah-istilah Arab dalam produk bank syariah kerap kali menimbulkan kesan eksklusif, yang justru membuat sebagian masyarakat merasa asing dan enggan mendekat. Kondisi ini menunjukkan adanya jurang antara idealisme dan kenyataan yang belum dijembatani secara maksimal. Akibatnya, bank syariah masih kesulitan membentuk identitas yang benar-benar berbeda dan kuat di tengah dominasi sistem keuangan konvensional.

Untuk menggali lebih dalam, tulisan ini akan membahas dua aspek penting yang menjadi sorotan: pertama, kemiripan substansi antara produk bank syariah dan bank konvensional; kedua, lambatnya inovasi dalam pengembangan layanan dan produk syariah di era digital.

1. Produk Bank Syariah yang Masih Serupa dengan Konvensional

Meskipun secara prinsip membawa semangat Islam, produk-produk bank syariah dalam praktiknya masih belum mampu menunjukkan perbedaan yang mencolok dibandingkan bank konvensional. Akad murabahah, misalnya, merupakan skema jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati di awal. Namun kenyataannya, penerapan akad ini di lapangan kerap kali menyerupai kredit berbunga, karena nasabah tetap diwajibkan membayar cicilan dalam jumlah tetap dalam jangka waktu tertentu.

Merujuk data OJK tahun 2023, lebih dari 60% portofolio pembiayaan bank syariah masih didominasi oleh akad murabahah. Sementara itu, produk yang lebih mencerminkan prinsip keadilan dan berbagi risiko seperti mudharabah dan musyarakah justru belum banyak dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa pendekatan bisnis yang diambil masih cenderung pragmatis dan belum sepenuhnya menggambarkan keunikan sistem keuangan syariah.

Akad-akad lain seperti ijarah (sewa) dan wadiah (titipan) juga dalam pelaksanaannya sering kali mirip dengan produk leasing atau tabungan biasa. Akibatnya, masyarakat merasa bahwa yang berbeda dari bank syariah hanyalah istilah yang digunakan, bukan substansinya. Persepsi ini diperkuat dengan masih minimnya upaya edukasi dari pihak bank untuk menjelaskan filosofi dan nilai tambah dari setiap produk syariah yang ditawarkan.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka bank syariah akan terus berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Upaya untuk membedakan diri dari sistem konvensional akan semakin sulit, dan potensi besar yang dimiliki bank syariah untuk menjadi solusi ekonomi berbasis nilai-nilai Islam bisa saja tak pernah terwujud secara maksimal.

2. Krisis Inovasi dalam Perbankan Syariah

Di tengah perkembangan pesat teknologi digital, bank syariah justru menghadapi tantangan serius dalam hal inovasi. Banyak nasabah saat ini menginginkan layanan keuangan yang serba cepat, praktis, dan dapat diakses dari mana saja. Namun, sayangnya, sebagian besar bank syariah masih tertinggal dalam hal pengembangan teknologi. Layanan seperti mobile banking, pembayaran digital, hingga fitur investasi syariah memang mulai tersedia, tetapi belum sepenuhnya mampu bersaing dengan layanan milik bank konvensional maupun platform fintech.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline