Lihat ke Halaman Asli

Erwin Alwazir

Karyawan Swasta

Anakku Anak Ibuku

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="" align="aligncenter" width="318" caption="flexmedia.co.id"][/caption]

“Cukup!Pergi sana, Ibu tak sudi melihatmu!”

“Tidak. Aku tidak akan meninggalkan rumah ini sebelum dapat anakku!”tangisku, sementara  ibu  berupaya keras  menghalangi langkahku untuk membawa Rani, anak yang kulahirkan dan kubesarkan selama ini. “Jangan halangi aku, Bu. Ibu tak boleh merampasnya, dia anakku!”

“Merampasnya?!”

Plak!

Tamparan ibu keras mengenai pipiku. Aku terhuyung. Terlontar keinginan untuk membalas, namun mata ibu memperlihatkan kemurkaan yang lebih dariku.

“Jangan pernah menuduh Ibu merampas anakmu. Dia sendiri yang tidak mau hidup dengan kalian.  Coba kau tanya sekarang  dengan siapa dia mau tinggal. Dengan Ibu, atau dengan ibunya yang tak pernah merasa punya anak selama ini. Tanyaaa...!” Ia berkacak pinggang menantang keinginanku untuk membawa Rani menjauh dari hidupnya.

Dengan berurai  air mata yang mengalir di pipi perih, Aku mengalihkan pandangan pada Rani, anakku yang baru berusia 8 tahun yang menangis dan meringkuk di samping lemari. Wajahnya terlihat pucat. Tubuhnya gemetar  setelah cukup lama melihat pertengkaran kami.

Aku mendekat dan merunduk, senyum manis kubiaskan  pada  bola matanya yang bundar, berlinang air mata. Aku mengelus rambutnya penuh kasih sayang. Besar harapanku dengan sikap yang lemah lembut seperti ini hati Rani menjadi jinak dan ia mau kembali mengisi hidupku. Namun yang terlihat ia  hanya menunduk. Ia merasa takut untuk memandang ketika hembusan nafasku menerpa wajahnya.  Di lantai keramik putih jelas terlihat buliran air matanya  yang mengalir sejak  tadi. Tapi aku tak peduli perasaannnya. Aku hanya berharap ia memberi isyarat untuk tinggal bersamaku malam ini juga. Aku memohon disela tangisnya yang tertahan.

“Ran, kita pulang sekarang. Ibu janji tidak akan meninggalkan Rani  lagi,”kataku membujuk, lengkap dengan seduh-sedan untuk membuktikan aku sangat menyayanginya. Memang salahku sendiri meninggalkannya setelah suamiku meninggal. Rani tak terurus. Selagi ayahnya masih hidup, hidupnya dicekam ketakutan melihat kami selalu bertengkar tiap larut malam.

“Ran,” kusentuh  pipinya. Ia beringsut sedikit. Lalu mengangkat muka dan menatapku dengan tajam. Pancaran benci dimatanya sedikit terlihat. Ia bangkit, tanpa menoleh sedikit pun, ia berlari kepelukan ibuku dan melampiaskan pilihannya dengan linangan air mata. Persendianku terasa lemas. Ibu mengelus kepalanya dengan lembut dan senyum sinisnya mengarah padaku. Tangisku meledak.  Aku marah. Melampiaskan dengan menendang apa saja yang ada. Pot-pot bunga berpecahan. Aku tak peduli ketika beberapa pasang mata tetangga menghampiri dan memergoki kekalapanku.  Setelah puas aku memasuki kendaraanku.

Wush...

Kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Jalan raya yang lengang mengajakku memuaskan diri. Semua rambu lalu lintas  kulanggar. Semua benda yang ada di tepi trotoar kutabrak. Kalaupun ada  pejalan kaki malam dini hari itu itu pasti kutabrak juga demi memuaskan amarahku. Aku rela dipukuli sampai mati oleh orang banyak, dari pada dipisahkan oleh satu orang yang merenggut lambang hidupku. Semua amarah dan kekewaan ini membawaku ke dunia lama, dunia yang ingin kuinggalkan andai saja Rani mau memaafkan kesalahanku!

Braak!

Mobilku parkir sembarang.  Tembok samping diskotik berderak dibuatnya. Kacung diskotik menghampiriku.

“Re, kenapa? Kau mabuk?”

Ia ingin memegang tanganku saat turun dari kendaraan. Kutepis dengan kasar dan berlalu begitu saja. tetapi ia menghalangi langkahku.

“Re, sebentar. Tolong, malam ini pengunjung penuh, jangan bikin  ulah lagi! Atau...”

“Atau apa? Melaporkan perbuatanku pada polisi? Atau melaporkan Neni  pada istrimu?”jawabku sengit sambil mendorongnya. Dia terdiam. Untuk menghadapi laki-laki brengsek ini aku cukup meminjam nama Neni,  penyanyi kafe  teman kencannya, kalau tak mau kusebut istri muda.

Aku masuk di diskotik dengan senyum kemenangan. Minuman berbagai merek kupesan. Kutenggak untuk mengosongkan pikiran yang sumpek. Seloki dua loki aku sempat terbatuk. Selanjutnya entah berapa botol yang lewat di kerongkongan. Aku tak mengingatnya sama sekali. Yang aku ingat hanya anakku. Rani anakku.

Memang, sudah dua bulan ini aku ingin menjadi ibu yang baik. Semua perbuatan buruk yang kulakoni selama ini secara perlahan mulai kutinggalkan. Aku tak pernah lagi masuk diskotik atau kafe. Aku ingin melupakannya untuk lebih mengaingat anakku. Aku tak pernah lagi minum-minuman keras. Aku ingin meninggalkannya untuk mendekatkan kembali hati kami berdua yang sudah tiga tahun terpisah. Tiga tahun tak bertemu seperti mimpi buruk bagi semua ibu di setiap malam-malam mereka. tidur selalu diusik pertanyaan.

Ada apa dengannya? Kenapa wajahnya berdarah? Kenapa ia selalu pucat dan ketakutan? Firasat apakah ini? Mungkin itu yang terjadi saat kita terjaga disetiap malam. Seperti juga aku yang terus merindukan akhir-akhir ini. Tetapi ibu menentangnya. Ia menghasut Rani untuk tidak tinggal serumah denganku. Ia takut terjadi apa-apa dengan Rani, mengingat aku dulu bekerja di sebuah diskotik. Pulang subuh dan terkadang bertengkar hebat dengan suamiku yang kerja di kafe lain.

Cinta suamiku  terlalu buta. Melihat aku pulang larut malam dihantar pemilik diskotik, hatinya terbakar oleh gosip yang dikirimkan oleh orang lain. Padahal bosku orang yang baik dan hubungan kami sebatas kerja saja. Seandainya dia tahu   itu juga  yang membuat kami sering bertengkar, dihadapan putri yang menjadikan  hidupnya semakin tertekan, mungkin dia mau memakluminya dan bicara bijak denganku dilain hari. Tetapi tidak. Kami berdua terlambat  menyadarinya.

Kami pernah berembuk agar salah satu mengalah. Aku pernah berniat mengalah, namun  akhirnya kembali kerja karena pendapatan suami tidak mencukupi. Suamiku tak terima dan sikapnya semakin liar. Begitu pula aku. Pulangnya terkadang salah satu dari kami ada yang mabuk, keributan selalu tak bisa dihindarkan. Sampai suamiku tewas setelah berselisih dengan sopir bosku, yang kebetulan pada malam kejadian tak bisa menghantarku pulang.

Aku terus menenggak minuman sebagai tempat pelarianku. Disela mataku yang berkunang-kunang, aku seperti melihat lambaian tangan putri. Sementara ibu tersenyum dipintu mobil yang membawa putri padaku. Begitu cantik dan manisnya anakku. Aku ingin berlari mengejar dan memeluknya untuk melampiaskan semua beban. Namun sekejap wajah anakku menghilang, dibuyar suara gaduh seketika. Gelas dan botol terdengar  jatuh berpecahan. Dalam keadaan setengah sadar aku mendengar suara lantang.

“Semua di tempat. Jangan ada yang bergerak. Razia!”

Begitu cepat. Beberapa petugas menggeledah semua pengunjung. Nafasku seolah berhenti setelah petugas menemukan ratusan shabu-shabu di tasku. Aku dipaksa duduk di kursi. Setelah muntah beberapa kali, perlahan kesadaranku menghampiri. Sementara petugas semakin banyak. Mereka lalu lalang memeriksa pengunjung dan diskotik. Banyak yang tertangkap tangan. Mereka berdiri berjejer. Sementara aku sedikit istimewa, mungkin karena banyaknya shabu-shabu yang mereka temukan di tasku dan juga di jok belakang mobil.

Aku menolak  tuduhan tersebut. Aku tidak tahu darimana asal barang terkutuk tersebut.

“Aku memang ibu sialan! Aku pemabuk, tapi tak pernah sekalipun aku mengecap barang itu!”teriakku sambil tertahan. Petugas tak percaya. Aku dibawah ke mobilku. Mereka perlihatkan ratusan  shabu-shabu dijok mobil belakang. Aku hanya geleng kepala dan mempercayai temuan mereka. Aku dijebak!

Hatiku menjerit saat petugas mengalungkan borgol ditanganku. Suami selingkuhan Neni menuntunku ke mobil petugas. Ada senyum puas terlihat di wajahnya. Aku merasa ada yang menjebakku malam ini.

Dan yang lebih membuat hatiku  hancur, menjelang subuh sebelum aku dinaikan ke mobil tahanan, terlihat jelas Rani anakku datang bersama ibu. Bukan sekedar bayangan. Ia datang membaw kado ulang tahun untukku yang jatuh hari ini. Air matanya kembali berlinang. Kado jatuh perlahan. Di belakangnya di pintu mobil,  Ibu menutup mulutnya menahan kesedihan.

Aku meratapi nasib. Aku memang tak pantas menjadi seorang ibu. Jagalah Rani  untukku bu, jagalah dia dan didiklah seperti anak kandungmu sendiri. Kutitipkan  hidupnya padamu dan kupasrahkan hidupku berakhir ditiang gantungan kelak.

Demikian isi surat yang kukirim dua minggu yang lalu. Sampai kini aku menanti semuanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline