Lihat ke Halaman Asli

Masa Depan di Tangan Penista Bhinneka Tunggal Ika

Diperbarui: 23 November 2016   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia = BHINNEKA TUNGGAL IKA merupakan rangkaian kata yang sangat kental dengan kita sebagai seorang WNI, namun seperti yang telah kita ketahui pula bahwa  pada zaman sekarang rangkaian kata tersebut hanyalah sebuah fiktif belaka. Pengertian “berbeda-beda tetapi tetap satu” hanyalah sebuah kalimat yang sering di elu-elukan, di banggakan, namun diiringi dengan aksi yang nol besar.

Berbagai suku, ras, budaya, agama, dan bahasa saling hidup berdampingan di dalam suatu negara kepulauan terbesar bernama Indonesia. Ada pun di balik keberadaannya yang saling berdampingan terdapat pula orang-orang yang mengganggap adanya kaum mayoritas dan sisanya minoritas sehingga terjadi berbagai macam konflik.       

Belakangan, kata Cina dan non muslim menjadi topik hangat yang menimbulkan kontroversi, terutama pada bidang politik. Banyak sekali argumen pro dan kontra mengenai kaum minoritas yang duduk di pemerintahan. Di lihat dari segi keberagaman agama, bangsa Indonesia mayoritas beragama muslim BUKAN negara muslim. Bukan negara muslim, berarti bukan pula negara Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, atau pun Khonghucu. Indonesia beragama lebih dari satu, tegantung kepercayaan masing-masing, inilah pikiran orang yang menghargai BHINNEKA TUNGGAL IKA. 

Kalau memang fakta orang muslim akan lebih mudah masuk ke dalam pemerintahan bernilai benar,  orang non muslim “berkualitas” yang dimiliki oleh Indonesia akan pergi mencari keadilan. Jika ia tidak mendapatkannya di Indonesia, yang berduit bisa ke luar negeri untuk tinggal, bekerja, dan membuat suatu inovasi yang membawa suatu kemajuan bagi negara lain tersebut, toh tanpa Indonesia mereka masih bisa hidup.

Lain dari agama, permasalahan suku juga menjadi kontroversi. WNI keturunan Tionghoa dapat dikatakan sebagai penghuni setengah dari Indonesia karena jumlahnya yang cukup banyak. Kita sering mendengar opini yang sebagian besar bersifat negatif, seperti orang Cina itu pelit, licik, kasar, dan mudah marah. 

Entah dari mana opini tersebut berasal sehingga terlihat sangat nyata dan mayoritas orang berpikiran sama. Kemudian saya juga sering mendengar isu-isu mengenai diskriminasi suku dalam hal pendidikan, antara lain siswa siswi sekolah yang sering dibully karena keberadaannya yang minoritas (keturunan Tionghoa) di sekolah. Sebagian mengatakan tempat orang-orang keturunan Tionghoa tersebut bukanlah di Indonesia. Kumpulan orang yang berpikiran seperti itulah yang layaknya dibully, padahal faktanya entah matanya yang sipit, neneknya yang asli dari Tionghoa, kulitnya yang lebih putih, jika mereka lahir, besar, dan menetap di Indonesia, maka mereka adalah seorang WNI.

Isu mengenai lebih sulitnya WNI keturunan Tionghoa untuk masuk ke suatu perusahaan dan perguruan tinggi negeri pun sangat memprihatinkan. Semisal hal ini juga bernilai benar, akan tidak terhitung berapa banyak lagi WNI berprestasi yang akan di sia-siakan. Generasi muda berpotensi yang hidupnya tidak begitu dianggap di Indonesia akan berpindah ke luar negeri, sedangkan orang Indonesia asli yang sukses di dalam negeri diperbudak oleh bangsa lain menggunakan kekayaan alam Indonesia. 

Dapat dibayangkan betapa indahnya kalau generasi muda berpotensi yang keturunan Tionghoa tadi bekerja sama dengan orang Indonesia asli yang sukses untuk mencegah eksploitasi kekayaan alam Indonesia oleh negara lain. Bayangkan pula seberapa besar kedamaian yang tercipta apabila label keberagaman yang ada dihapus dan diganti menjadi satu kata, yakni INDONESIA.          




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline