Lihat ke Halaman Asli

Endro S Efendi

TERVERIFIKASI

Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Jika Mampu, Kenapa Masih Merasa Miskin?

Diperbarui: 27 April 2020   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

andalsoftware.com

Di beberapa tempat mulai ribut. Pembagian dana bantuan langsung tunai (BLT) termasuk pembagian sembilan bahan pokok (sembako) diwarnai ketidakmerataan proses pembagian. Ada yang nyata-nyata mampu, tapi menerima bantuan. Namun ada yang jelas-jelas dalam kondisi memprihatinkan, terlewatkan tak tersentuh bantuan.

Harus diakui, mental miskin masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diatasi oleh bangsa ini. Yang unik, mereka yang mampu justru merasa dapat 'rezeki' ketika mendapat bantuan. Entah dalam bentuk uang tunai atau barang.

"Rezeki anak soleh," begitu biasanya postingan yang muncul di sosial media ketika mendapat sesuatu yang jelas-jelas barang bantuan atau sumbangan.

Kondisi ini juga tidak lepas dari sejarah panjang bangsa Indonesia yang dijajah lebih dari 350 tahun. Penjajahan itu menjadikan bangsa ini memiliki mental kurang baik. Kurang percaya dengan diri sendiri, dan selalu melihat bangsa lain lebih hebat. Paling parah ya itu tadi, merasa miskin. Sebaliknya, justru merasa bangga dan bahagia ketika mendapat sesuatu yang gratisan.

Coba perhatikan, ketika ada rekan atau sahabat yang baru mulai membuka usaha. Apa respons pertama kali yang disampaikan? "Boleh dong nanti aku dikasih gratis?" "Diskon ya? Kita kan teman." "Bagi dong..."

Atau ketika mengetahui ada rekan atau teman yang sedang jalan-jalan. Tak ada rasa sungkan atau segan meminta sesuatu atau oleh-oleh. Beda soal kalau Anda titip, apalagi kalau titipnya disertai transfer uang. Atau diberi langsung oleh-oleh tanpa meminta, tentu tak masalah. Ini nyata-nyata meminta.

Apakah salah? Tidak ada yang salah atau benar. Tolok ukur dari tindakan ini adalah timbangan mental dari sisi kebijaksanaan masing-masing individu. Apakah kita bisa bijak mengatasi kondisi tersebut?

Disadari atau tidak, orang tua juga telah mengajarkan meminta pada anak sejak kecil. Coba kalau mau memberi sesuatu pada anak kecil, bagaimana caranya? Tak sedikit orang tua yang menyusuh si kecil untuk meminta dulu. "Ayo mintanya bagaimana? Kalau sudah dikasih bilang apa?" Kedua tangan si anak kemudian menengadah seraya berkata, "minta ma..." Kesannya memang santun, lucu dan menggemaskan. Bahkan, sepintas seolah baik-baik saja. Padahal, secara tidak langsung anak sudah diajarkan meminta-minta.

Kalau memang mau memberi anak, ya beri saja. Tak perlu rasanya menyuruh si anak meminta. Sehingga anak tahu, itu memang haknya, memang khusus buat dia. Bagaimana kalau si anak merebut? Ya tinggal diberi pemahaman, bahwa berebut itu tidak boleh, apalagi kalau merebut yang bukan haknya.

Ketika anak harus disuruh meminta, yang dikhawatirkan adalah adanya program di pikiran bawah sadar. Minta dulu, baru diberikan. Sikap inilah yang akan tertanam di pikiran bawah sadar hingga dewasa. Akibatnya, tidak ada rasa malu untuk meminta kepada siapa saja.

Lalu bagaimana kalau anak merasa lapar atau haus? Apakah tidak boleh meminta? Tentu ini lain soal. Sahabat pasti tentu bisa membedakannya. Itu adalah respons anak secara otomatis dan wajar pada kebutuhan dasar. Justru itu baik, melatih anak menyampaikan kondisinya secara terbuka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline