Lihat ke Halaman Asli

Nurdin Taher

TERVERIFIKASI

Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Mungkinkah Pilkada DKI Masih Punya Greget Tanpa Ahok?

Diperbarui: 13 November 2016   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sbr. gbr. : http://news.okezone.com

Beberapa hari lalu tersiar khabar bahwa seseorang yang disebut teman, telah meminta agar Ahok mengundurkan diri dari pencalonan sebagai calon gubernur (Cagub) DKI pada Pilkada 2017. Permintaan itu disampaikan atas pertimbangan situasi dan atmosfir politik serta dinamika sosial beberapa waktu terakhir.

Dasar pertimbangan itu menyebutkan bahwa bila Ahok tetap bersikukuh maju mencalonkan diri sebagai calon gubernur (Cagub), maka akan terus menimbulkan kegaduhan. Kegaduhan-kegaduhan akibat ‘ulah’ (baca : pencalonan) Ahok itu malah akan (terus) menimbulkan suasana tidak kondusif (sumber).

Menanggapi permintaan, tepatnya desakan itu, Ahok menyatakan sikap secara tegas dan gamblang. Bagi seorang petarung (fighter) seperti dirinya, Ahok merasa pantang menyerah sebelum bertanding.

Orang yang melempar handuk dan bendera putih sebagai tanda menyerah sebelum berjuang adalah cerminan dari mental pengecut. Hanya karena tekanan dari sekelompok orang yang ingin memaksakan kehendak dan ego politiknya, membuat orang yang bermental cetek akan mengkeret nyalinya. Bagi Ahok, orang yang menyerah kalah sebelum bertanding adalah tipikal orang  yang bermental cetek, dan hal itu sangat jauh dari kamus hidupnya.

Karena itu, Ahok seakan ingin menantang balik bahwa ia lebih memilih untuk dijadikan tersangka dan dipenjara daripada harus menyerah kalah dengan mundur dari pencalonan sebagai Cagub. Sebab dalam pandangan Ahok, jika seseorang harus menyerah karena tekanan sekelompok orang dengan agenda dan kepentingan politik jangka pendek maka akan merusak tananan nilai konstitusional. Mengingat konstitusi telah menjamin hak-hak warga negara untuk dapat menggunakan hak politiknya tanpa harus diintimidasi oleh kepentingan apapun. Sikap Ahok ini tidak berkaitan dengan sanksi bila seorang calon dan atau pasangan calon (paslon) mengundurkan diri (sumber).

Bagi Ahok negara tidak boleh kalah. Konstitusi negara telah menjamin dengan pasti bahwa setiap warga negara mempunyai persamaan kedudukan di mata hukum dan pemerintahan. Konstitusi juga telah menggariskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih. Tidak ada seorang dan kelompok mana pun dengan pongah dapat memaksakan kehendaknya sesuka hati tanpa melihat sisi pelanggaran konstitusi.

Karena itu permintaan, dorongan, bahkan mungkin desakan terhadap Ahok agar mengundurkan diri dari pencalonan sebagai Cagub pada Pilkada DKI 2017 tanpa alasan yang sah adalah bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Dengan kata lain, menginginkan Ahok untuk tidak melanjutkan ‘pertarungan’ pada kontestasi Pilkada DKI hanya karena ingin memenuhi syahwat politik segelintir kelompok elit politik dan agama adalah sebuah tindakan inskonstitusional.

Bahwa benar saat ini Ahok sedang dalam sebuah kondisi ‘kegamangan’ karena ‘ulahnya’ telah dengan sengaja menyitir surah al-Maidah 51. Akibat sikap nyelenehnya itu, Ahok harus dipaksa berhadap-hadapan dengan sebagian umat Islam.

Saya menggunakan istilah ‘dipaksa’ untuk mengdeskripsikan bahwa situasi dan atmosfir politik dan dinamika sosial hari-hari ini, yang disebut tidak kondusif sehingga ada yang harus mendesak Ahok mundur, adalah by design.  Mungkin benar sinyalemen bahwa ada aktor-aktor politik dan mungkin pula aktor keagamaan yang bermain untuk memuluskan agenda dan kepentingan politik jangka pendek. Sebabsecara faktual sudah sejak awal mereka tidak menginginkan Ahok eksis. Dengan mundurnya Ahok dari pencalonan, akan memudahkan kelompok ini untuk merancang dan mewujudkan agenda politik lebih lanjut.

Bukan merupakan rahasia umum, bahwa maraknya aksi unjuk rasa menolak Ahok akhir-akhir ini tidak hanya menjelaskan satu gejala tunggal. Banyak fenomena yang memberikan gambaran bahwa peristiwa penentangan terhadap Ahok bukan merupakan peristiwa keagamaan semata, tapi sudah berkelindan sangat erat dengan kepentingan politik dan juga kekuasaan.

Jakarta adalah beranda depan rumah dari negeri elok yang bernama Indonesia. Maka ‘menguasai’ Jakarta sebagai etalase negeri, akan menjadi barometer untuk mengukur kekuatan bila kelak akan bertarung memperebutkan RI 1. Sehingga sekecil apapun peluang itu harus dimanfaatkan secara optimal dan all out, mengkanvaskan lawan sejak ronde awal. Dengan mengeliminir calon kompetitor dari arena bertanding sejak ronde-ronde awal akan membuka peluang lebih luas meraih tampuk keuasaan. Bila kekuasaan pada ‘beranda depan’ sudah di tangan akan sangat memudahkan untuk menguasai seluruh sudut rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline