Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Aku dan Devdas

Diperbarui: 30 Desember 2015   04:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ah, Devdas. Saratchandra Chattopadhyay begitu lihainya menuturkan kisahmu. Kisah manis persahabatanmu dengan Paro yang terjalin sejak kecil. Lalu berkembang menjadi kisah cinta manusia dewasa yang indah. Namun sayang kisah kasih kalian tidak bisa dipersatukan karena dunia yang berbeda. Kamu, Dev, terlahir dari keluarga bangsawan. Sedangkan Paro, hanya putri seorang kasta rendahanan.

Kisah kasih kalian pun kandas dan berakhir tragis.

Benar. Ini adalah kisahmu, Devdas. Kisah yang sangat melegenda di negerimu, India.

Harusnya cinta yang kalian punya bisa dipersatukan dan berakhir bahagia. Tapi begitulah, Dev. Segalanya bisa terjadi di dunia ini. Pengarangmu, si Saratchandra itu, sengaja menghadirkan konflik yang menguras emosi juga air mata. Ada cinta, kebahagiaan, kepedihan, dan ego. Sangat multi kompleks. Bukankah dunia memang seperti itu, Dev?

Kau tahu, Devdas? Meski jujur aku tidak suka ending cerita yang tragis, tapi toh aku menikmati juga kisahmu. Melahap habis kisah yang disuguhkan Saratchandra dengan alur apik yang mengalir natural dan menawan.

Ketika dua anak manusia berlainan jenis jatuh cinta, ada binar-binar kebahagiaan terpancar di mata mereka, apakah itu salah? Dan ketika Paro berusaha menjaga cintanya padamu secara simbolis dengan menyalakan lilin di sepanjang waktu, apakah itu juga keliru? Tidak, Dev. Tidak ada yang salah untuk cinta. Cinta memang seharusnya seperti itu. Romantis dan terus dijaga.

Mungkin di sinilah letak kekuatan kisahmu, Dev. Penggambaran tentang tradisi yang masih dipegang teguh oleh sebagian orang, di sana, di negerimu, atau bisa juga di tempat lain di sisi dunia ini, di mana sebuah pernikahan berbeda kasta tak patut dan tak boleh terjadi. Sebuah fakta yang terasa pahit , ya, Dev....

Mengapa cinta harus mengenal kasta? Ah, Dev, barangkali ini hanya rekayasa manusia untuk menodai kemurnian cinta itu sendiri. Setahuku, cinta itu tulus. Tidak memiliki tendensi apapun.

Karena cinta  adalah anugerah dari-Nya, Dev. Tak selayaknya ia ditunggangi oleh bermacam alasan duniawi.

Ah, Dev, membicarakan kisahmu, sungguh membuat hatiku porak-poranda. Mengapa cinta yang indah itu mesti menjadikanmu sang pecinta sejati kehilangan nyawa? Sebegitu jahatnya-kah cinta hingga mampu membunuh seseorang?

Duh, Devdas, andai aku hidup pada jaman Saratchandra, aku pasti akan membisiki pengarang hebat itu. Kuminta ia mengubah kisahmu menjadi happy ending. Aku ingin melihatmu bersanding bahagia bersama orang terkasihmu, Dev. Si jelita Paro.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline