Cerita Petani: Kisah Petani Senior Yang Meneruskan Tambak Dari Kakek-Neneknya (Bag.2)
Sahabat Kompasianer., Saya melanjutkan tulisan pada bagian/episode 1 berjudul "Sejarah Budidaya Udang Windu Sidoarjo: Dari Tradisi ke Organik".
Sejarah kehidupan masyarakat Sidoarjo berada wilayah delta (diapit sungai Porong dan Sungai mas) yang subur mengandalkan pertanian/perikanan seperti budidaya tambak udang dan ikan bandeng. Budidaya udang dan ikan bandeng Kabupaten Sidoarjo sudah ada sejak 150 tahun (1,5 abad) lalu hingga sekarang masih dipertahanan.
Penghasil (produksi) ikan Sidoarjo termasuk terbesar di Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Sidoarjo dikarunia alam yang melimpah berupa tanah rawa di pesisir timur sangat cocok untuk pertanian tambak yang ketergantungan pada air pasang surut laut dan kelestarian hutan bakau (mangrove) menjadi ciri khas yang masih dipertahankan hingga saat ini.
Udang windu (Sumber: Freepik/Kredit Foto)
Budidaya udang windu sejak lama menjadi bagian penting dari denyut kehidupan masyarakat Sidoarjo. Dari generasi ke generasi, tambak diwariskan sebagai sumber penghidupan, sekaligus simbol keterikatan masyarakat dengan alam pesisir.
Namun, di era perdagangan bebas dan pasar global, tuntutan terhadap produk perikanan tidak lagi sebatas jumlah panen. Pasar kini menuntut mutu, keamanan pangan, dan keberlanjutan lingkungan.
Panen udang windu di Sidoarjo (Sumber: dok.pribadi)
Inilah tantangan besar yang dihadapi para petani tambak Sidoarjo. Mereka tidak hanya harus menjaga kualitas udang windu, tetapi juga membuktikan bahwa usaha tambak tetap sejalan dengan prinsip ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan konsep sustainability atau kesinambungan yang menjadi syarat utama produk perikanan diterima di pasar internasional.
Pada tahun 2002, seorang petani tambak senior, H.M. Qosim, pernah menegaskan pentingnya dasar hukum kepemilikan tambak untuk mendukung keberlanjutan.