Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Di tengah tantangan dunia pendidikan tinggi yang kompleks, banyak mahasiswa terjebak dalam tekanan akademik, ekspektasi sosial, dan kecemasan masa depan. Kebahagiaan seolah menjadi sesuatu yang mewah. Dalam konteks ini, filsafat Stoicism atau Stoa hadir sebagai tawaran etis dan praktis untuk membimbing mahasiswa menuju transformasi batin vsebuah transfigurasi diri agar menjadi sarjana yang unggul sekaligus berbahagia.
Stoicism bukan sekadar ajaran kuno dari Yunani-Romawi. Ia adalah panduan hidup yang relevan, mengajak manusia untuk mengelola emosi, menerima kenyataan, dan berfokus pada kebajikan (virtue) sebagai sumber kebahagiaan sejati. Para pemikir Stoa seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius menekankan bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh hal-hal eksternal seperti kekayaan atau popularitas, melainkan oleh pengendalian diri dan kebijaksanaan dalam menyikapi hidup.
Kebahagiaan dalam Pandangan Stoicism
Dalam filsafat Stoa, kebahagiaan (eudaimonia) bukanlah kondisi emosional sesaat, melainkan keadaan jiwa yang tenang (ataraxia) dan merdeka dari gejolak emosi negatif. Stoic menegaskan bahwa kebahagiaan hanya mungkin dicapai jika seseorang hidup sesuai dengan akal budi (logos) dan kebajikan.
Menurut Epictetus, kita harus memisahkan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita (pikiran, niat, tindakan) dan yang tidak (cuaca, penilaian orang lain, keberuntungan). Menderita datang dari kebingungan kita atas hal itu. Dalam kehidupan kampus, hal ini berarti bahwa mahasiswa harus belajar menerima nilai ujian yang rendah jika mereka sudah berusaha maksimal, dan tidak menyalahkan dosen atau sistem.
Seneca mengingatkan, "Kita menderita lebih banyak dalam imajinasi daripada dalam kenyataan." Ini menekankan pentingnya pengendalian pikiran sebagai langkah awal kebahagiaan. Mahasiswa yang mampu mengatur persepsi mereka terhadap kegagalan, tugas menumpuk, atau kritik dari dosen akan lebih tahan banting dan seimbang secara emosional.
Transfigurasi Diri, dari Mahasiswa Biasa Menjadi Sarjana Berbahagia
Transfigurasi diri adalah proses perubahan mendalam yang bersifat spiritual dan etis. Dalam konteks Stoicism, ini dimulai dari latihan mental dan pembiasaan batin. Para Stoa menekankan latihan (askesis) sebagai metode membentuk karakter. Askesis bukan sekadar disiplin keras, melainkan refleksi diri yang berkelanjutan.
Seorang sarjana bukan hanya individu yang menyelesaikan skripsi dan diwisuda, tetapi juga pribadi yang matang secara intelektual, emosional, dan moral. Transfigurasi ini menuntut kesadaran diri (self-awareness), mengenal kekuatan dan kelemahan diri. Selain itu, ialah kemandirian batin yang tidak menggantungkan kebahagiaan pada validasi eksternal. Kebijaksanaan praktis (phronesis), menilai situasi secara objektif dan etis. Serta keteguhan moral yang mengedepankan integritas dalam tugas akademik dan sosial.
Mahasiswa yang menjadikan etika Stoa sebagai laku hidup akan lebih fokus pada kualitas diri daripada pencapaian semu. Mereka tidak akan tergoda mencontek atau membeli skripsi karena menyadari bahwa kebajikan lebih penting dari nilai semata.