Lihat ke Halaman Asli

Edy Suhardono

TERVERIFIKASI

Social Psychologist, Assessor, Researcher

Pertempuran Waktu di Jalan Progresif No. 12

Diperbarui: 22 September 2025   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertempuran Waktu (Sumber: Koleksi Edy Suhardono)

Jam digital di sudut ruang makan keluarga Arman, sebuah gawai minimalis dari Jepang, berkedip pukul 06:17 dengan presisi. Angka-angka itu tidak mengumumkan pagi, melainkan meluncurkan sebuah perlombaan. Di rumah ini, di Jalan Progresif Nomor 12, waktu bukanlah sahabat untuk dinikmati, melainkan seekor predator yang harus senantiasa dilumpuhkan dengan produktivitas.

Arman menyesap kopi instan dari cangkir bertuliskan '#1 DAD'. Ironis. Uap kopi yang dijanjikan beraroma kemewahan Italia itu gagal menutupi bau hangus dari ambisinya sendiri. Di layar laptopnya, seorang motivator meninju-ninju udara. "Masa depan bukan untuk ditunggu, tapi untuk ditaklukkan!" seru teks di bawah video.

Arman mengangguk khusyuk, seolah baru saja menerima perintah dari panglima tertinggi. Pandangannya melesat ke seberang meja, mengunci Raka, putranya, yang tengah menatap selembar roti tawar dengan ekspresi seorang terpidana menatap hidangan terakhirnya.

"Jadwal mock-up TOEFL-mu sudah Ayah kunci di kalender Google. Sabtu pagi. Ini bukan opsi, Raka, ini milestone. Kamu tahu bedanya, kan?" Suara Arman datar, efektif, dan tanpa ruang untuk negosiasi. Mirip email dari atasan.

Raka meletakkan rotinya. Energi di ruangan itu berubah. "Aku dapat peran utama di teater sekolah, Pak." Kalimat itu keluar bukan sebagai permintaan izin, melainkan sebagai sebuah deklarasi kemerdekaan yang rapuh. "Bukan figuran. Peran utama."

Keheningan yang menyusul terasa berat, tebal, dan sarat akan sejarah pertarungan-pertarungan kecil yang tak pernah dimenangkan siapa pun. Di dapur, suara spatula Ibu yang beradu dengan wajan terdengar seperti detak jantung yang panik.

"Teater, kau bilang?" Arman menutup laptopnya. Sebuah gerakan final. Rapat selesai. "Raka, kita sudah melewati fase ini. Itu distraksi. Portofolio untuk beasiswa ke Stanford itu masa depan. Kita tidak membangun masa depan di atas panggung reyot dan tepuk tangan basa-basi."

Ibu Raka muncul, membawa piring berisi nasi goreng dan seulas senyum yang dipaksakan. "Tapi, Yah, sekali ini saja? Lihat dulu bagaimana..." Ia meletakkan piring di depan Raka, sebuah persembahan damai yang sia-sia.

"Kita bukan keluarga yang menggantungkan hidup pada imajinasi," desis Arman, kalimatnya memotong udara seperti pisau. "Kita membangun sesuatu yang nyata. Dinding. Aset. Warisan. Bukan angan-angan."

Tepat saat itu, ponsel Arman berdering, memecah ketegangan dengan nada ceria yang terasa sumbang. Panggilan video. Wajah Oma dan Opa yang penuh keriput cinta memenuhi layar, sebuah portal ke dunia lain di mana waktu berjalan lebih lambat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline