Lihat ke Halaman Asli

Maria EdithaBere

Mahasiswa Teknik

Sang Pemimpi

Diperbarui: 13 Mei 2021   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aday pic.

"Aku tahu dan menyadari bahwa seluruh perjalanan hidupku memberikan sejuta pengalaman yang tidak dapat ku rangkai sekecil mungkin, untuk ku tunjukan kepada dunia bahwa aku dapat melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidup ini. Tetapi aku percaya akan semangatku, optimismeku dan setiap perjalanan hidup yang kupilih sendiri. Sebab dari padanya aku menemukan jati diriku sebagai seorang manusia yang terus berjalan menelusuri relung-relung peziarahan hidupku". Demikian sebuah catatan kecil yang ditinggalkan oleh Rama di kamar tidurnya sebelum ia mengejar mimpi yang tidak diketahui keluarga.

Rama adalah seorang anak desa dari salah satu pulau kecil di bagian Indonesia Timur. Pulau yang sangat ia cintai akan semerbak harum kayu cendana di kala itu. Kini, apa daya kecintaan itu jika yang tertinggal hanyalah kenangan. Seluruh cinta dan  kebanggaan akan tanah kelahiran telah berubah seakan-akan telah sirna dari bumi ini. Jauh di dasar hati yang terdalam si anak desa mengeyam mimpi tuk berlabuh keluar dari kampung halaman dan bahkan keluar dari jati dirinya.

Rama menyadari dengan keterbatasan hidup dan sejuta mimpi yang kian hari kian bertambah seiring berhembusnya nafas kehidupan tatkala memaksanya untuk terus melangkah. Adakah ia mewakili sejuta anak di Pulau ini tentang mimpi-mimpi yang belum terpikirkan oleh mereka karena keterbatasan ruang peziarahan akan kehidupan layak yang boleh mereka terima?? Tak ada jiwa lain selain dia yang tahu dan mengerti tentang jalan hidupnya saat ini.

Malam itu, bulan tidak menampakan diri seperti biasanya bahkan bintang-bintangpun menyembunyikan diri dalam peraduan malam. Rama berjalan keluar rumah tidak berbekal, hanya sebuah tas sarung yang terlihat menemani dirinya. Ia berjalan menyusuri jalan-jalan kecil yang telah dibuat oleh segerombolan sapi dan ia tahu bahwa jalan ini menuju ke kali.[1] 

Ia terus berjalan menembusi udara dingin di malam itu tanpa menghiraukan suara-suara binatang malam yang terasa terus membuntutunya. Rama tahu bahwa perjalanan yang ia tempuh cukup jauh kurang lebih empat puluh lima kilo meter dari desa ke kota. Bagi Rama, jarak tempuh ini tidak menjadi penghalang untuk seorang anak desa seperti dirinya, yang telah duabelas tahun mengayun langkah sejauh Sembilanbelas kilo meter. Jika Sembilanbelas kilo meter dapat ia tempuh selama duabelas tahun apa artinya empatpuluh lima kilo meter dalam waktu satu malam demi sebuah cita-cita di masa mendatang.

Rama bukanlah pribadi yang takut akan kegelapan, bukan pula pribadi yang gila berjalan semalam suntuk sejauh empat puluh lima kilo meter tetapi Rama adalah pribadi berjiwa patriot. Seorang kesatria yang selalu berpegang teguh akan komitmen hidupnya. Perjalanannya menyusuri lorong-lorong bumi seakan mengantar dia untuk bertemu fajar baru di hari itu. 

Dengan tangan kekarnya ia menepis embun yang kian detik menyentuh tubuhnya. Tubuh itu telah terendam keringat sepanjang malam sampai fajar merekah, langkah kakinya kini kian tak menentu untuk membawa tubuh yang terasa lemas tak bertumpuan lagi, namun semangat itu masih tetap ada dalam dirinya.

Setibanya di kota Rama berjalan menuju sebuah toko tradisional. Dalam keadaan lemas ia memberi tas sarung yang ia bawa dari rumah. Pemilik toko itu kebingungan dan dengan segera meminta salah satu pelayan untuk mengambil dan membuka tas tersebut. Ketika dibuka pelayan itu terkejut akan aroma kayu cendana yang begitu tajam. Pelayan  meyerahkan tas sarung beserta isinya kepada majikan dan tanpa berpikir panjang majikan itupun memberikan sejumlah uang untuk harga kayu cendana.

Hasil dari kayu cendana mengantar Rama untuk mendaftarkan diri di salah satu perguruan tinggi  dan mengambil ilmu filsafat. Kecintaannya pada filsafat bertitik tolak dari sang proklamator Bangsa Indonesia. Tidak pernah terpikirkan oleh dirinya bahwa Sang Proklamator bukanlah seorang filsuf,namun dari setiap rekam jejak akan setiap pemikirannya ia adalah sang pencinta kebijaksanaan untuk negeri dan bangsa. Dengan demikian Rama menjuluki sang proklamator sebagai filsuf tanah air. Bagi Rama siapa yang mencintai Bangsa dan Negara  dengan setiap kebijaksanaannya adalah filsuf.

"Ya, dia adalah filsuf dalam sanubariku, seseorang yang membuatku untuk berani melangkah menerobos semak belukar tuk mengenyam arti sebuah pendidikan bagiku, keluargaku, kampung halamanku dan negaraku" kata Rama ketika diwawancara dalam tes masuk kampus. "Tidakkah kamu memilih seorang filsuf Yunani, Barat, China yang kaya akan idealisme, kaya akan pemikiran-pemikiran dan bahkan kaya akan strategi-strategi berpikir akan suatu pengetahuan?". "Tidak! aku tetap mengidolakan Sang Proklamator bangsa Indonesia sebagai seorang filsuf". Pungkas Rama kepada salah seorang dosen. 

Namun, jauh di dalam lubuk hati terdalam Rama merindukan suatu cita-cita luhur bagi dirinya, ia bagaikan sabda Ilahi, "domba tanpa gembala". Hilangnya kedua orantua membuatnya memutuskan pergi mencari kehidupan baru yang penuh mimpi antara kenyataan dan bayangan semu utntuk dirinya. "modal telah ku terima, kesempatan telah kuperoleh tempat tinggalpun telah kuperoleh walau hanya untuk sebulan saja" kata Rama dalam hatinya sembari mengayunkan langkah di atas trotoar menuju kos-kosan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline