Di pagi yang tenang di pesisir Demak, Jawa Tengah, seorang perempuan paruh baya berdiri di air payau setinggi lutut. Di sekelilingnya, bibit mangrove yang tumbuh secara alami seolah mencuat dari lumpur yang tenang.
Ibu itu adalah bagian kecil dari masyarakat yang sedang berjuang sunyi untuk melawan salah satu krisis ekologi terbesar akhir-akhir ini, yaitu menyusut dan hilangnya lahan basah, yang juga berdampak pada kehidupan sehari-hari Ibu paruh baya tersebut, serta jutaan masyarakat pesisir lainnya di Nusantara.
Sudah hampir empat dekade ini saya bekerja di bidang perlindungan dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana di Indonesia maupun dunia secara umum.
Dari rawa gambut Kalimantan, rawa air tawar di Papua, pesisir di Sumatra bagian Timur, bentang mangrove di Australia dan Kenya, aliran sungai dan hamparan sawah di Jepang dan Korea, rawa air tawar di Perancis dan Kambodja, lahan basah di Argentina hingga aliran sungai bening di kaki Himalaya, Nepal.
Saya telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana lahan basah menjadi penyangga kehidupan, menyimpan karbon, melindungi dari banjir dan badai, menyaring air, menopang mata pencaharian, dan menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati. Sayangnya, saya juga menyaksikan kehancurannya, senyap tapi pasti.
Sejak 1970, dunia telah kehilangan lebih dari 35% lahan basahnya, tiga kali lebih cepat dibandingkan kehilangan hutan. Sayangnya, lahan basah sering kali disalahpahami, dianggap sebagai lahan tak berguna yang bisa dikeringkan, dialihfungsikan, atau direklamasi. Di balik statistik itu, kita kehilangan bukan hanya ekosistem, tetapi ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, budaya, dan masa depan kita bersama.
Lahan basah mencakup berbagai tipe ekosistem, seperti rawa gambut, mangrove, danau, laguna, sungai, dan dataran banjir. Mereka adalah ekosistem paling produktif di bumi. Lebih dari 40% spesies dunia bergantung pada lahan basah untuk berkembang biak, mencari makan, atau bermigrasi.
Indonesia sendiri memiliki kekayaan lahan basah yang luar biasa, sekitar 3 juta hektar mangrove, terluas di dunia, dan lebih dari 13 juta hektar lahan gambut tropis. Namun kekayaan ini terancam karena alih fungsi lahan, pembukaan perkebunan, tambak udang, hingga proyek reklamasi dan pembangunan tanpa kajian ekologis yang memadai.
Peatland atau lahan gambut, tipe ekosistem lahan basah lainnya, menyimpan karbon dalam jumlah masif. Meski hanya mencakup sekitar 3% permukaan daratan dunia, lahan gambut menyimpan hampir 30% stok karbon tanah global. Namun saat dikeringkan atau terbakar, karbon itu lepas ke atmosfer, mempercepat perubahan iklim.
Krisis yang Menyusup di Pinggiran