Lihat ke Halaman Asli

Ditta Atmawijaya

TERVERIFIKASI

Editor

Budayakan Tumbler, Gerakan Kecil dengan Dampak Global

Diperbarui: 30 September 2025   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

One planet One Love--budayakan tumber jadi standar baru kita bersama. (Foto: Dok. Pribadi)

Sekitar tahun 2019, media sosial kita ramai dengan ajakan Bring Your Own Tumbler (BYOT). Banyak kafe memberi potongan harga bagi pelanggan yang membawa wadah minum sendiri.

Komunitas dan sekolah juga ikut menggaungkan gerakan ini. Tumbler bukan lagi sekadar botol minum, tetapi simbol gaya hidup ramah lingkungan.

Pertanyaannya: ketika gaungnya sudah tak seheboh dulu, apakah gerakan budayakan tumbler masih relevan hari ini?
Jawabannya: ya, bahkan lebih penting dari sebelumnya.

Ancaman Plastik yang Tak Pernah Surut

Indonesia termasuk penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, jutaan ton plastik dihasilkan tiap tahun, sebagian besar dari kemasan sekali pakai.

Botol air mineral sekali pakai adalah salah satu penyumbang terbesar. Masalahnya, plastik butuh ratusan tahun untuk terurai, dan sebagian besar justru berakhir di laut, meracuni ekosistem.

Beberapa kota di Indonesia sudah mulai membatasi kantong dan kemasan plastik sekali pakai. Namun, regulasi saja tidak cukup. Dibutuhkan perubahan kebiasaan sehari-hari, salah satunya dengan membiasakan diri membawa tumbler.

Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2023 mencatat sekitar 11 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun. Jika tren ini tidak berubah, angka itu bisa hampir tiga kali lipat pada 2040.

Di Indonesia, kasus nyata ancaman plastik terhadap biota laut telah berulang. Sebagai contoh, penyu ditemukan mati dengan perut berisi plastik di berbagai beberapa wilayah pesisir. Kisah tragis ini memperlihatkan betapa seriusnya ancaman plastik sekali pakai terhadap kehidupan laut.

Dengan membawa tumbler, kita memang tidak bisa langsung menghentikan masalah global, tetapi setidaknya ikut memperlambat laju pencemaran.

Namun, keengganan membawa tumbler sering kali muncul karena faktor praktis dan higienitas. Solusinya mudah: pilihlah tumbler dengan desain yang mudah dibersihkan dan selalu siapkan sikat khusus.

Saat ini, memang sudah tersedia aplikasi atau peta digital yang membantu menunjukkan lokasi refill station terdekat. Namun, tantangan terbesarnya adalah keterbatasan infrastruktur refill station, di mana titik isi ulang air minum masih terkonsentrasi di stasiun besar, kampus, atau area komersial tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline