Lihat ke Halaman Asli

Dimas Syaiful Amry

Konsultan Pendidikan Alternatif

Terima Kasih, Nak

Diperbarui: 7 Juni 2025   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Pada suatu titik dalam perjalanan menjadi orang tua, kita akan berhenti sejenak dan menoleh ke belakang---memandang jejak-jejak langkah yang telah ditempuh, dari malam-malam tanpa tidur, rengekan yang tak berkesudahan, hingga senyum kecil yang tiba-tiba mampu meruntuhkan letih seluruh jiwa. Perjalanan mengasuh dan mendidik anak bukan sekadar rutinitas harian atau tugas sosial yang melekat pada peran. Ia adalah perjalanan batin, yang dalam, penuh kejutan, sekaligus menuntut perenungan yang terus-menerus.

Dulu, kita mungkin mengira bahwa mendidik anak hanya soal memberi makan, menyekolahkan, dan menegur jika salah. Namun waktu membuktikan bahwa pengasuhan sejati jauh melampaui itu. Ia menuntut keterlibatan utuh---bukan hanya tubuh yang hadir, tetapi juga hati yang terbuka dan jiwa yang mendengarkan. Ia menuntut kita untuk belajar ulang, membongkar cara berpikir lama, dan membangun ulang fondasi yang lebih manusiawi.

Dalam proses itu, kita sering kali dihadapkan pada cermin---anak-anak kita sendiri. Mereka mencerminkan harapan kita, namun juga ketakutan dan luka yang belum selesai. Mereka adalah versi kecil dari diri kita, sekaligus makhluk yang unik dengan jalannya sendiri. Maka, tak ada peta pasti yang bisa menjamin keberhasilan. Yang ada adalah kesediaan untuk berjalan bersama, tumbuh bersama, jatuh dan bangkit bersama.

Pentingnya Kemampuan Zoom in dan Zoom Out

Dalam dunia pengasuhan, kemampuan zoom in dan zoom out bukan sekadar teknik berpikir---ia adalah modal kesadaran. Sebab yang sedang kita hadapi bukanlah objek pembelajaran, bukan sekadar "anak yang perlu diarahkan," melainkan seorang manusia utuh yang hidup, tumbuh, dan bergerak dalam pusaran biologi, psikologi, spiritualitas, serta budaya. Ia adalah medan kompleks yang tak cukup dipahami hanya dengan satu pendekatan tunggal.

Zoom In: Menyentuh yang Tersembunyi, Menelisik yang Mikroskopik

Zoom in berarti keberanian untuk mendekat, masuk ke kedalaman jiwa anak:

Mengamati sinyal halus tubuhnya---dari detak jantung yang gelisah, sorot mata yang lesu, hingga kecenderungan geraknya. Di sinilah ilmu biologi seluler dan neurosains memberi petunjuk: bagaimana stres merusak korteks prefrontal, bagaimana dopamine bisa memperkuat atau menghancurkan fokus, bagaimana kurang tidur mengubah pola hormon dan memori.

Mendalami lapisan emosi yang tak terucapkan---emosi yang tertahan, marah yang disamarkan, takut yang terselip dalam tawa. Ini adalah wilayah psikologi perkembangan dan emosi, tempat di mana trauma kecil bisa menjadi luka besar jika tak dipeluk.

Menumbuhkan sensitivitas terhadap nurani---melihat potensi transendensi dalam diri anak: rasa ingin tahu yang murni, pencarian makna, kerinduan pada sesuatu yang lebih tinggi. Ini wilayah spiritual intelligence yang tak bisa diabaikan, sebab manusia bukan sekadar berpikir---ia juga bertanya tentang arti.

Zoom Out: Membaca Pola Besar, Meneropong Arah Peradaban

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline