Pada 24 September 1960, negara republik menandatangani Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang itu dimaksudkan sebagai pondasi untuk mematahkan warisan hukum kolonial, menegaskan penguasaan negara atas tanah, dan menegakkan amanat konstitusional agar sumber daya agraria digunakan untuk "sebesar-besar kemakmuran rakyat". Namun, selepas 65 tahun, pertanyaan sederhana namun tajam tetap relevan: apakah UUPA benar-benar menjadikan tanah sebagai tempat berlindung dan penghidupan rakyat marhaen --- atau hanya menyuburkan akumulasi tanah di tangan oligarki dan modal? (Sumber: UU No.5/1960).
Warisan retoris Bung Karno dan kenyataan di lapangan
Soekarno menempatkan reforma agraria sebagai bagian tak terpisahkan dari revolusi sosial Indonesia; ia mengingatkan bahwa "Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas... Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!" --- sebuah seruan moral dan politik yang menegaskan tujuan UUPA. Namun kenapa seruan ini, yang menjadi dasar moral bagi kebijakan agraria republik, masih jauh dari tuntas? Sumber-sumber sejarah pidato Bung Karno merekam aspirasi ini dengan jelas.
Jawabannya tidak tunggal: ada kombinasi kelemahan implementasi kebijakan, prioritas pembangunan yang pro-investor, tata regulasi yang fragmentaris, dan penegakan hukum yang timpang. Dalam dekade terakhir, bukti empiris menunjukkan peningkatan konflik agraria---bukan penurunan---yang justru menyodorkan kontras pahit antara teks UUPA dan praktik penguasaan tanah. Data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) mencatat ratusan letusan konflik agraria setiap tahun; sepanjang 2024 tercatat ratusan kasus yang tersebar lintas sektor (perkebunan, kehutanan, infrastruktur). Ini bukan angka sepele---itu adalah gambaran keping-keping kehidupan petani yang terus tergusur.
Laporan Komnas HAM yang dikompilasi oleh beberapa media lingkungan dan kajian lapangan menunjukkan ribuan aduan konflik agraria selama lima tahun terakhir (2020--2024), angka yang membuka mata tentang skala masalah. Bahkan ketika program formal "reforma agraria" digembar-gemborkan, realisasinya seringkali terbatas pada sertifikasi kecil atau redistribusi parsial yang tidak menyentuh akar struktur penguasaan lahan---sementara program lain seperti pembentukan Bank Tanah justru menuai kritik karena berpotensi memarketkan tanah publik dan mempercepat akumulasi oleh aktor besar. Kritik jurnalistik dan NGO terhadap Bank Tanah menyoroti risiko bahwa instrumen administratif untuk mengelola tanah justru menjadi gerbang bagi investasi besar, bukan instrumen pro-petani.
Politik hukum: UUPA sebagai teks progresif yang dilematis
UUPA memang mengandung prinsip progresif: mengakui hak ulayat komunitas, membatasi hak milik absolut, mendorong redistribusi tanah, dan menempatkan fungsi sosial tanah. Namun hukum tak bisa bekerja sendirian. Kekuatan modal yang terorganisir, hubungan klienelistik antara pemilik modal dan jaringan politik, serta regulasi sektoral yang memberi kemudahan konsesi (pertambangan, perkebunan skala besar, infrastruktur) telah menggerus ruang implementasi UUPA. Selain itu, ambiguitas kepemilikan atas tanah negara dan tata ruang yang berubah-ubah membuka celah legal untuk alih fungsi yang cepat dan sulit dibalikkan.
Para pembuat kebijakan cenderung menafsirkan UUPA lewat kacamata pembangunan ekonomi yang menilai skala dan efisiensi---sehingga tanah lebih dilihat sebagai komoditas investasi. Hasilnya: tanah rakyat menjadi bagian dari "paket proyek" dan konflik menjadi eksternalitas yang dipinggirkan.
Suara rakyat: dari jalanan sampai meja pemerintahan
Peringatan 65 tahun UUPA tahun 2025 diwarnai aksi dan tuntutan---petani dan organisasi agraria turun ke jalan menagih janji reforma agraria sejati. Aksi-aksi Hari Tani Nasional 2025 menunjukkan bahwa aspirasi redistribusi tanah masih hidup dan berdenyut di akar. Seruan mereka bukan sekadar nostalgia; itu bentuk protes terhadap proses yang membuat UUPA sebagai simbol tanpa isi ketika lahan produktif beralih ke modal besar, dan ketika sertifikat lebih sering menjadi alat spekulasi daripada alat perlindungan penggarap. Laporan berita lokal dan nasional merekam gelombang demonstrasi dan aksi damai di berbagai daerah menjelang dan pada momen peringatan tersebut.