Lihat ke Halaman Asli

Marhaenisme Dan 17+8 Tuntutan Rakyat

Diperbarui: 19 September 2025   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.liputan6.com/hot/read/6148817/memahami-makna-warna-pink-dan-hijau-di-balik-gerakan-178-tuntutan-rakyat

Krisis politik-ekonomi yang meletup di Indonesia pada akhir Agustus 2025 --- dan yang terlambat melahirkan slogan tuntutan "17+8" --- bukan sekadar gelombang protes spontan. Ia adalah manifestasi kumulatif dari tekanan struktural: biaya hidup yang melonjak, upah stagnan, kepercayaan publik yang terkikis terhadap institusi, serta persepsi impunitas di tubuh penegakan hukum dan parlemen. Gelombang ini menggabungkan tuntutan jangka pendek yang konkret dengan tuntutan jangka panjang tentang reformasi total tata kelola --- pola khas ledakan sosial di negara dengan ketegangan ekonomi-politik tinggi. 

Dalam konteks itulah relevansi Marhaenisme kembali mengemuka. Marhaenisme, seperti dirumuskan Bung Karno, bukan sekadar nostalgia ideologis; ia adalah sebuah kerangka pemikiran yang mengangkat "kaum marhaen" --- rakyat kecil yang bekerja sendiri namun tereksploitasi oleh struktur ekonomi --- sebagai subjek politik utama. Soekarno merumuskan Marhaenisme sebagai "suatu asas yang menghendaki susunan masyarakat dan Negara yang di dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen" dan sebagai cara perjuangan menuju hilangnya kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Pernyataan ini menegaskan akar Marhaenisme pada soal distribusi kekuasaan ekonomi dan politik, bukan hanya retorika simbolik. 

Mengapa Marhaenisme relevan bagi 17+8? Karena tuntutan 17+8 menempel pada problematika kehidupan sehari-hari: harga kebutuhan pokok, upah layak, akuntabilitas publik, dan jaminan keselamatan bekerja --- hal-hal yang langsung menyentuh basis marhaen. Kerangka Marhaenisme menawarkan dua keuntungan analitis: pertama, ia memprioritaskan agen-agen sosial yang paling terdampak (petani kecil, buruh, ojek daring, pedagang kecil); kedua, ia menuntut perubahan struktural (kebijakan fiskal, kontrol korporasi, reformasi birokrasi) bukan sekadar kosmetik. Dengan kata lain, tuntutan praktis 17+8 dan tuntutan struktural Marhaenisme bisa menjadi dua sisi dari strategi yang sama: menautkan perbaikan hidup harian dengan perubahan kekuasaan ekonomi-politik. 

Namun ada ambivalensi penting. Marhaenisme, sebagaimana dipraktikkan historis, dapat berfungsi sebagai ideologi emansipatoris --- atau sebagai legitimasi bagi politik populis otoriter bila dipisahkan dari kontrol demokratis dan mekanisme akuntabilitas. Sejarah menunjukkan bahwa mobilisasi atas nama "rakyat kecil" tanpa institusi checks-and-balances mudah disalurkan ke arah personalisasi kekuasaan. Oleh karena itu, jika aktor-aktor 17+8 hendak mengadopsi tubuh pemikiran Marhaenisme, mereka harus memasangkannya dengan prinsip-prinsip transparansi, penghormatan terhadap hak-hak sipil, serta mekanisme kelembagaan yang mencegah monopoli kekuasaan. Ini bukan hanya soal retorika solidaritas, melainkan soal desain institusi. (Analogi empiris: protes tahun 2025 menuntut juga reformasi parlemen dan investigasi---isu yang memerlukan mekanisme legal dan legislatif untuk diaktualkan). 

Pemikiran Tokoh Tokoh Bangsa Menguatkan Peta Moral dan Taktis Perjuangan. Sukarno, misalnya, mengingatkan pentingnya "menyalakan obor kesetiaan terhadap kaum Marhaen" dan memperingatkan terhadap "steriliteit" dalam gerakan yang tidak menyentuh massa. Ungkapan ini adalah panggilan untuk menghindari elitisme gerakan: gerakan yang hanya berbicara di kelas menengah atau akademik tanpa berakar di kehidupan marhaen akan kehilangan legitimasi dan efektivitas. 

Dari spektrum kiri lainnya, Tan Malaka memberi pelajaran taktis: ia menekankan bahwa tidak ada program revolusioner yang berarti tanpa pergerakan revolusioner yang nyata. Perkataan semacam ini menyiratkan bahwa agenda kebijakan (program) harus diikat dengan kekuatan sosial nyata (organisasi pekerja, jaringan komunitas), bukan sekadar deklarasi. Jika 17+8 ingin bertahan dari co-optation, mereka perlu menginstitutionalisasi jaringan massa yang memiliki kapasitas negosiasi, pengorganisasian jangka panjang, dan kontrol internal terhadap elite gerakan. 

Bung Hatta, yang berfokus pada pembangunan ekonomi dan etika perjuangan, mengingatkan tentang pentingnya produktivitas dan pembaruan mental petani dan pekerja: "Indonesia hanya bisa mulia dan kuat terutama atas jasa dan kebaktian kita sendiri." Kutipan ini menegaskan bahwa transformasi material juga memerlukan investasi kapasitas --- pendidikan teknis, akses kredit mikro yang adil, reformasi agraria yang nyata --- agar marhaen tidak hanya menjadi objek politik tetapi juga subjek ekonomi yang berdaya. 

Praktik politik kontemporer menuntut sintesis: Marhaenisme perlu diterjemahkan ke dalam kebijakan fiskal progresif (subsidi tepat sasaran, pajak pro-rakyat terhadap ekstensifikasi korporasi), perlindungan buruh informal (upah minimum yang responsif, jaminan sosial inklusif), dan reformasi total birokrasi yang menuntut transparansi. Namun transisi kebijakan semacam itu memerlukan koalisi politik yang kuat: gerakan sosial (seperti 17+8), aliansi politik reformis di parlemen, serta tekanan internasional dan media untuk menjaga momentum. Lantas munculah tantangan: bagaimana menjaga kemandirian gerakan dari pragmatisme politik yang mengorbankan agenda dasar marhaen? Jawabannya harus mencakup perangkat akuntabilitas internal --- anggaran partisipatif, komite pengawas berbasis masyarakat, dan mekanisme recall. 

Kritik juga perlu diarahkan pada risiko retorika semata. Marhaenisme yang dijadikan simbol harus ditransformasikan menjadi indikator kebijakan konkret: misalnya target pengentasan kemiskinan yang terukur, indeks kesejahteraan lokal yang diukur tiap kuartal, dan audit publik atas subsidi serta pengeluaran publik. Tanpa indikator yang dapat diukur, kata "marhaen" mudah menjadi label sentimental yang menutupi kegagalan substansial. Di sini ilmu kebijakan publik dan metodologi evaluasi menjadi krusial; gerakan yang ingin berdampak harus menuntut metrik yang konkret dan audit independen. 

Penutup: Marhaenisme bukan naskah usang, melainkan lensa analitis yang --- bila dipakai dengan disiplin ilmiah dan mekanisme demokratis --- dapat mengarahkan tuntutan 17+8 menuju perubahan struktural yang berkelanjutan. Namun tanpa kriteria akuntabilitas dan kapasitas organisasi, Marhaenisme berisiko menjadi komoditas simbolik yang mudah dipolitisasi. Jalan keluar jangka panjang menuntut dua hal sekaligus: gerakan massa yang terorganisir, dan terjemahan ideologis ke dalam kebijakan publik yang dapat diuji dan dievaluasi. Demikianlah warisan Bung Karno: bukan sekadar slogan, melainkan tuntutan kerja keras untuk mengubah konfigurasi kekuasaan demi menyelamatkan kaum marhaen --- hari ini, dan seterusnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline