Lihat ke Halaman Asli

Dikdik Sadikin

TERVERIFIKASI

Akuntan yang Penulis

Kang Dedi Mulyadi (KDM)

Diperbarui: 16 Mei 2025   20:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Digambar ulang dengan DALL-E berdasarkan foto dari Kompas.com/Muhamad Syahrial.

Kang Dedi Mulyadi (KDM)

Oleh Dikdik Sadikin

Kang Dedi Mulyadi, atau lebih akrab disebut "KDM", bukan sekadar politisi. Sebagai Gubernur Jawa Barat, ia performatif. Ia tak datang dari kasta langit kekuasaan. Ia bukan teknokrat dari kampus asing, bukan pula politisi turunan dengan silsilah bak pohon keluarga bangsawan. Ia muncul dari riuh pasar rakyat, dari jalan-jalan kampung. Dan seperti banyak hal yang muncul dari bawah, ia mendobrak dari sisi yang tak terduga: media sosial.

Aksi KDM adalah fragmen narasi. Ia memanggil anak-anak yang bandel untuk dibina di barak tentara. Ia melarang study tour agar orangtua tak perlu menjual motor atau menggadaikan surat tanah. Ia membongkar bangunan liar di daerah Puncak Bogor dan Cianjur yang sudah dianggap sebagai "warisan ekonomi", tetapi justru menjadi beban ekologis.

Mungkin karena itu, KDM menjadi semacam reality show yang tak pernah selesai tayang. Di TikTok, di YouTube, di reels Instagram, ia muncul seperti tokoh dalam epos rakyat: keras, blak-blakan, tetapi akrab. Ia menegur sambil tertawa, mengancam sambil menggendong anak kecil, memeluk sambil membongkar rumah. Tapi inilah zaman di mana politik tak hanya ditonton. Ia juga dibagikan.

Sejak awal, terpilihnya KDM menjadi Gubernur Jawa Barat memang bukan didasarkan sekadar rekam jejaknya sebagai Bupati Purwakarta dan anggota DPR, tetapi juga dari pendekatannya yang akrab melalui media sosial. Ia menyebutnya sebagai kebiasaan lama yang membuatnya bahagia: mendatangi rakyat kecil, menyapa anak-anak, bahkan memarahi remaja yang keluyuran saat jam belajar.

Barangkali, inilah gaya baru kekuasaan di era algoritma: berpolitik sambil bertindak, dan bertindak sambil ditonton. Ia melakukan sesuatu yang nyata, tapi juga sengaja menampilkannya kepada publik sebagai pesan. Namun KDM bukan hanya performatif dalam arti teatrikal. Dalam banyak hal, ia juga walks the talk: tidak sekadar berkata-kata, tetapi benar-benar turun tangan: menjemput, menegur, dan mendengar.

Dalam dunia politik yang sering menjauh dari kehidupan sehari-hari, ia hadir dengan bahasa yang dipahami banyak orang: bukan pidato, tapi teguran; bukan baliho, tapi video. Dari hal itu, KDM dan pasangannya terpilih dengan dukungan publik sebesar 65%, jauh mengungguli calon lainnya (Data Litbang Kompas, November 2024).

Sebagian menyebut ini populisme baru. Yang lain menyebutnya mediatainment birokrasi. Tapi barangkali yang sedang kita saksikan adalah transformasi kekuasaan: dari yang berbicara di podium menjadi yang masuk ke ruang makan, bahkan ke tempat tidur anak-anak. 

Seorang bocah berkata pada ibunya, "Aku mau makan, kalo nggak nanti dijemput Pak Dedi." Bukankah ini semacam "mata yang tak pernah tidur". Sebuah pengawasan yang tak kasatmata, tapi selalu terasa hadir? Bukan dari polisi atau guru, melainkan dari layar gawai yang merekam KDM menasehati sekaligus "mengancam". Bahwa kalau tidak menurut orangtua, KDM sebagai "Pak Dedi" akan menjemput anak-anak itu.

Tentu, tidak semua setuju.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline