Buruh Musiman: Yang Tertinggal Usai Ramadan
Oleh Dikdik Sadikin
Kita menulis 'pertumbuhan ekonomi', tapi melupakan bahwa 59,31 persen tenaga kerja Indonesia masih bekerja di sektor informal. Termasuk buruh musiman di Bulan Ramadan, yang tanpa asuransi, dan tanpa kepastian akan dipekerjakan lagi setelah Ramadan. Apalagi THR.
Di sebuah sudut Terminal Laladon, Kabupaten Bogor, saya melihat seorang perempuan paruh baya berdiri di bawah payung yang tak terlalu besar. Ia menjajakan kolak pisang, tahu isi, dan gorengan yang masih mengepul uap panasnya. Namanya Bu Ijah. "Alhamdulillah, Ramadan bawa rejeki. Tapi ya cuma sebulan, Pak," katanya sambil menyeka keringat dengan ujung kerudungnya.
Dalam gemerlap iklan e-commerce yang menjanjikan diskon 90 persen dan tayangan televisi yang memamerkan bagi-bagi THR untuk ASN, ada dunia lain yang senyap dan tak tersorot kamera: dunia para buruh musiman, para pedagang takjil, para kurir dan juru parkir harian. Mereka ada, bekerja, menopang, tapi seringkali tak terlihat dalam sistem.
Di bulan Ramadan, konsumsi rumah tangga naik hingga 20 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pengeluaran masyarakat untuk makanan jadi dan makanan ringan melonjak paling tajam pada minggu kedua Ramadan. Namun, kontribusi besar ekonomi informal di balik lonjakan ini, nyaris tak tercatat.
Kurir seperti Dedi, 26 tahun, hanya tersenyum miris saat saya tanya soal THR. "THR dari siapa, Bang? Kita kan freelance. Kalau dapet, ya bonus dari kasihan doang, bukan kewajiban." Dalam satu hari, Dedi bisa mengantar 50 hingga 70 paket di wilayah Cibinong. Gojek dan ShopeeFood memberinya penghasilan harian, tapi tidak jaminan masa depan.
Di Cileungsi, buruh pabrik musiman seperti Asman hanya dipekerjakan sebulan untuk memenuhi lonjakan produksi parcel Lebaran.
"Kalau bukan musim parsel, saya nganggur. Baru pas Ramadan dipanggil lagi," katanya. Upah minimum yang diterima tak sampai Rp3 juta sebulan, tanpa asuransi, dan tanpa kepastian akan dipekerjakan lagi setelah Ramadan.
"Negara hanya hadir lewat pengumuman THR untuk yang punya NIP," celetuk Pak Syukur, seorang juru parkir di Pasar Ciawi yang kami temui tengah mengatur kendaraan roda dua. "Yang begini mah, THR-nya ya kalau ada yang ngasih lebih aja. Kadang juga dimaki. Salah parkir dikit, disalahin."
Kita menyukai bayang-bayang ideal. Kita menulis 'pertumbuhan ekonomi', tapi melupakan bahwa 59,31 persen tenaga kerja Indonesia masih bekerja di sektor informal. Kita menepuk dada karena inflasi terkendali, padahal harga telur naik 15 persen, daging sapi menembus Rp140 ribu per kilo, dan minyak goreng tak kunjung stabil.
Jean-Paul Sartre dalam drama "No Exit" (Huis Clos, 1944) pernah menulis: L'enfer, c'est les autres. Neraka adalah orang lain. Tapi bagi Bu Ijah, Dedi, dan Asman, neraka itu adalah kehidupan yang diabaikan: ada, tapi seolah-olah tak pernah terhitung.
Mereka hadir dalam kehidupan kita setiap hari: mengantar paket yang kita pesan tengah malam, menjaga motor kita saat belanja, atau menyediakan buka puasa yang kita santap di pinggir jalan. Tapi mereka jarang masuk berita. Dan kalaupun masuk, mereka sekadar menjadi angka: "10 juta pekerja informal terdampak."