Kamis, 18 Agustus 2011, suasana berbuka puasa yang tentram dan nikmat di kampung kami sekonyong-konyong dikoyak diganggu dirusak oleh sebuah kabar nan menggemparkan seisi kampung: Mbah Miyoto hilang di hutan.
Sungguh bukan kabar main-main. Hilang di hutan bisa berarti pulang dengan gelar tambahan di depan nama: Almarhum. Sontak kami menghentikan acara makan. Membayangkan seorang kakek tersesat di hutan dan kemungkinan sedang meregang nyawa membuat kerongkongan kami tak mampu melakukan tugasnya menelan makanan. Shalat maghrib kami lakukan bak sedang balapan. Para lelaki segera berkumpul membagi wilayah pencarian. Tampaknya pencarian akan sulit dan memakan waktu. Mbah Miyoto punya banyak lahan di empat penjuru mata angin: utara, barat, selatan dan timur. Parahnya lagi, beliau sama sekali tidak memberitahukan lahan area mana yang dituju siang itu; sebagai seorang duda yang tinggal dengan dua anak yang masih perjaka, hidup Mbah Miyoto memang kurang terurus. Dari kabar kabur yang kami dengar, beliau bahkan menyiapkan sendiri minumannya sepulang dari hutan. Selama bulan puasa, menantunya yang tinggal di desa sebelah mengirim makanan untuk keperluan beliau berbuka dan sahur. Sungguh miris. Seorang lelaki tua harus hidup kesepian dan tak terurus di sisa umurnya. Kami beramai-rami menyalahkan kedua anaknya yang belum juga menikah. Kami pikir kalau mereka menikah, paling tidak akan ada perempuan yang bisa membantu mengurus lelaki renta itu. Oh..Mbah Miyoto yang malang. Lelaki tua kesepian itu mungkin sedang kebingungan di hutan.
Usai magrib, tim pencari yang terdiri dari hampir semua lelaki dewasa di kampung kami berangkat. Tim yang mencari ke area utara paling banyak anggotanya. Semua orang tahu hutan di area utara sangat lebat. Kami menyebutnya grumbul. Kalau memang hari itu Mbah Miyoto pergi ke hutan di utara, bisa jadi beliau tersesat, kebingungan, dan malah terus berjalan ke utara yang berarti semakin masuk ke dalam hutan; ke area gelap yang semua orang lebih memilih untuk menghindarinya karena percaya bahwa di sanalah para dedemit dan lelembut beranak pinak dan membentuk kerajaan. Area itu disebut gunung pasar. Konon, di antara lebatnya pepohonan dan semak, di area itu terdengar riuh rendah suara ramai seperti yang sering kita dengar di pasar. Rupanya dedemit juga berbisnis.... Kalau tersesat sampai ke area itu, jarang ada yang bisa pulang. Kalau pun kembali, kebanyakan sudah tak bernyawa atau jadi setengah gila. Naudzubillah...hiiiyy....
Sementara para pria menyusur hutan, para wanita berkumpul, bergosip, berspekulasi. Malam itu shalat tarawih ditiadakan, tadarus diliburkan, sinetron ditinggalkan. Wanita, remaja putri, dan anak-anak lelaki yang belum akhil baligh bersatu dalam tema yang sedang hot: orang hilang. Kejadian semacam itu pernah terjadi setidaknya tiga kali di kampung kami. Semuanya hilang di hutan, semuanya pulang sudah jadi almarhum. Kami bergidik membicarakan kejadian terakhir, yang terjadi sekitar 9 atau 10 tahun lalu. Mbah Hartono hilang di hutan. Semua lelaki dewasa di kampung ikut mencari beliau. Namun hingga tengah malam, Mbah Hartono belum juga ditemukan. Padahal seluruh hutan telah disisir, semua lubang dimasuki, semua pohon diperiksa, tapi tak tampak sosok Mbah Hartono di manapun. Pukul 02.00 pagi barulah beliau ditemukan dalam keadaan sudah meninggal di bawah pohon kelapa. Anehnya, pohon kelapa tersebut sudah berkali-kali diperiksa. Banyak yang percaya ada dedemit usil yang menyembunyikan mayat lelaki tua itu.
Kami khawatir kejadian serupa menimpa Mbah Miyoto. Siapa tahu, lelaki itu tanpa sengaja menyenggol pagar rumah lelembut, menginjak ekor anjing dedemit, atau mengencingi pohon tempat tinggal genderuwo. Kaum memedi sangat sensitif jika ada manusia mendekat, apalagi sampai menyenggol hak miliknya. Padahal bukan sepenuhnya salah manusia karena properti kaum memedi juga tak kasat mata seperti ownernya. Kembali ke hilangnya Mbah Miyoto, dari seorang tetangga yang terkenal bermulut TOA, kami mendapatkan kabar kabur yang berbunyi: “Sudah ditanyakan sama orang pinter. Petunjuknya, Mbah Miyoto diumpetin di tiga gili ke utara, di bawah pohon besar. Sekarang lagi dicari!”—diceritakan dengan gaya teatrikal, mata melotot meyakinkan, suara penuh penekanan pada frasa “orang pinter”. Dari tadi si mulut TOA memang sibuk hilir mudik mencari berita terbaru. Spekulasi tentang keberadaan Mbah Miyoto yang diculik dedemit semakin berkembang.
Hingga tengah malam, belum ada kabar. Para lelaki belum pulang dari pencarian. Kami merinding membayangkan lelaki tua itu sendirian di tengah hutan yang gelap dan dingin, tak tahu arah. Itu pun kalau beliau masih hidup. Kami tak berani membayangkan Mbah Miyoto terbaring kaku di tengah hutan, menunggu ditemukan. Tak ada yang tidur lelap malam itu. Semua orang menunggu kabar. Waktu sahur, barulah para pencari kembali. Ayah saya yang bergabung dalam pencarian tampak kusut dan lelah. Wajahnya putus asa. Pasti kabar buruk. Kabar dari ayah membuat kami makin tak berselera makan sahur, “Ketemu bajunya, di gubug di hutan utara sana. Udah minta bantuan tim SAR juga”. Kami diam, dalam kepala kami ada satu gambaran yang hampir seragam: Mbah Miyoto sudah meninggal, telanjang dada, diculik dan diisengi dedemit. Usai subuh, si mulut TOA kembali berkoar, hidungnya kembang kempis ketika dengan berapi-api dia berujar, “Bajunya sudah dibawa ke orang pinter. Petunjuknya, Mbah Miyoto diumpetin sama petingginya lelembut!!!!”
Apa gerangan yang dilakukan Mbah Miyoto sampai petingginya lelembut sendiri yang turun tangan? Mungkinkah beliau mengambil batang kayu yang ternyata adalah tongkat kebesaran sang petinggi? Atau mungkinkah tanpa sengaja si mbah terpeleset dan menyenggol pantat istri si bos lelembut? Yang jelas, si mulut TOA sudah membuat keadaan semakin menegangkan. Petinggi lelembut gunung pasar mengukuhkan kredibilitas kerajaannya sebagai markas besar dedemit yang powerful dan tak mau diganggu gugat. Mendengar kabar terbaru dari si mulut TOA, para ibu hanya bisa berucap “Ya Allah....” sambil menangkupkan tangan di dada. Betapa malang nasib Mbah Miyoto, hidupnya berakhir tragis di tangan lelembut gunung pasar. Seluruh warga desa menunda aktivitas, menunggu mayat telanjang laki-laki tua itu dibawa pulang.
Pukul tujuh pagi, kampung kembali heboh. Mbah Miyoto ditemukan. Semua warga yang mencari ke hutan dianjurkan segera pulang. Kami berbondong-bondong menuju rumah beliau, ingin melihat sendiri keadaannya. Sungguh tak terkatakan. Lidah kami kelu, rasanya kata-kata tersangkut di tenggorokan. Mata kami terpaku melihat Mbah Miyoto sehat walafiat, berbaju batik, berpecis hitam, di tangannya ada sekantung apel dan makanan kecil. Kami terpana, terperangah. Mungkinkah sang petinggi lelembut mengundang lelaki tua itu ke pestanya? Atau kah kerajaan dedemit ingin mengubah citranya yang angker dan ingin bersahabat dengan manusia, dengan cara mendandani, memberi oleh2 dan mengembalikan Mbah Miyoto dalam keadaan sebaik itu? Apakah benar sekantung apel dan makanan kecil itu pemberian si petingginya lelembut? Kalau iya, seperti apa rasanya? Apakah bisa jadi sakti kalau kita makan? Semua pertanyaan itu berjubel di kepala, tak dapat kami katakan. Mbah Miyoto sendiri terlihat bingung dengan banyaknya warga yang berduyun-duyun ke rumahnya. Pandangannya menerawang. Kami mafhum, orang yang habis piknik ke dunia memedi memang sering jadi linglung.
Dari salah seorang anak Mbah Miyoto kami mendapatkan jawaban. Siang itu, Kamis 18 Agustus 2011, Mbah Miyoto memang pergi ke hutan untuk menengok bibit kopi yang baru ia tanam. Baru sebentar di hutan, beliau teringat janjinya untuk mengunjungi salah seorang saudara yang tinggal di kota. Waktu akan berangkat ke kota, mbah miyoto tidak pamit kepada siapa pun karena rumah sepi dan beliau tidak meninggalkan pesan karena tidak bisa menulis. Jadi ketika seisi kampung panik, ketakutan, dan tidak bisa tidur karena membayangkan Mbah Miyoto sedang disiksa oleh kaum memedi, beliau sebenarnya sedang bercengkrama, tidur nyenyak di rumah kerabatnya di kota. Jelaslah bahwa sekantung apel dan makanan kecil itu sama sekali bukan pemberian si petingginya lelembut. Runtuh sudah kredibilitas “orang pinter” yang digembar-gemborkan si mulut TOA. Dan mengenai agenda perdamaian antara kerajaan dedemit dengan manusia, tampaknya masih menjadi wacana. Semoga saja petingginya lelembut tidak menuntut kami atas dasar pencemaran nama baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI