Lihat ke Halaman Asli

Kritik Tajam Terhadap Pemerintah Melalui Puisi Di Bawah Selimut kedamaian Palsu Karya Widji Thukul

Diperbarui: 15 Desember 2023   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu
Karya Wiji Thukul

apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli

apa gunanya banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu

di mana-mana moncong senjata berdiri gagah
kongkalikong dengan kaum cukong

di desa-desa rakyat dipaksa menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi dengan harga murah

apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu

Puisi bukan hanya dapat digunakan untuk keindahan kata semata. Penggunaan puisi sangatlah luas dalam berbagai hal. Puisi dapat dijadikan alat untuk melakukan kritik terhadap pemerintah seperti yang dilakukan oleh Widji Thukul.  Puisi yang dibuatnya identik dengan perlawanan. Kerasnya perlawanan yang ditujukan kepada Orde Baru membuatnya hilang dan belum ditemukan hingga saat ini. Pasca reformasi kata-kata yang dilontarkan pemuda kelahiran Surakarta itu bukannya tenggelam, tetapi malah semakin melambung hingga dijadikan slogan perjuangan.

Kegunaan puisi yang semakin banyak dan berkembang menjadikannya dapat digunakan dalam berbagai kondisi. Puisi Di Bawah Seliut Kedamaian Palsu yang diangkat akan membuka pengetahuan dengan kondisi Orde Baru. Oleh sebab itu, puisi dapat menjadi media efektif dalam melakukan kritik terhadap pemerintah pada saat itu. Orde Baru merupakan keadaan di mana masyarakat dibatasi dalam berbagai hal. Masyarakat diajak untuk tunduk pada pemerintah dan dilarang keras melakukan kritik terhadap pemerintah.

Namun, keberanian tidak dibangun dalam semalam, Widji Thukul dengan gagahnya menyampaikan pendapat dan kritiknya dengan lantang terhadap pemerintah. Sehingga lahirlah sebuah puisi Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu yang menjadi bukti nyata dari keberanian Widji Thukul. Puisi Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu bersumber dari buku gabungan puisi "Aku Ingin Menjadi Peluru" pada tahun 2000. Puisi tersebut juga menjadi tanda bahwa puisi dapat digunakan sebagai media perlawanan yang efektif.

Larik demi larik yang disampaikan sangat jelas merupakan sebuah perlawanan dengan selingan kekecewaan. Pada larik pertama dan kedua menggambarkan bagaimana kecewanya kaum intelektual dan terpelajar karena mereka hidup di bawah tirani pemerintah. Mereka dibungkam bahkan dihilangkan dari lika-liku kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, larik-larik akhir menjelaskan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang kehidupannya di bawah tekanan dan todongan senjata.

Kritik tajam terhadap pemerintah melalui puisi merupakan cara baru dalam menyampaikan pendapat kepada pemerintah Orde Baru. Kalimat apa guna punya ilmu kalau hanya untuk mengibuli sangat menjelaskan bahwa banyak masyarakat terpelajar pada masa itu tergabung ke dalam pemerintahan yang busuk. Ilmu yang dimilikinya tidak dimanfaatkan untuk membantu rakyat, tetapi malah digunakan untuk menyerang rakyat dengan kebijakan yang di luar akal sehat. Larik ini juga seakan mengkritik bahwa banyak pembohong yang berasal dari kaum terpelajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline