Lihat ke Halaman Asli

Dicky Saputra

TERVERIFIKASI

Let's talk about life.

Rantai di Garasi, Rantai di Hati, Kisah Sederhana yang Mengungkap Banyak Hal

Diperbarui: 14 Juli 2025   19:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Garasi kosong tapi parkir mobil di luar, menyusahkan orang (AI-generated/Gemini) 

Ada sebuah kisah sunyi yang terjadi di jalan biasa --- kisah yang kebanyakan orang lewati begitu saja tanpa memperhatikan. Seorang pria punya dua rumah. Ia cuma punya satu mobil. Masing-masing rumah punya garasi, dan keduanya kosong. Salah satu garasi itu dirantai, bukan untuk melindungi mobil, tapi supaya orang lain tidak bisa memarkirkan kendaraannya di sana. Tak ada yang boleh menggunakannya --- bahkan dirinya sendiri. Garasi yang satu lagi juga tak terpakai, tapi ia memilih memarkir mobilnya di pinggir jalan yang sempit. Dan akibatnya, tetangga kesulitan parkir, dan orang-orang yang lewat harus berhimpit-himpit.

Kedengarannya nyaris terlalu aneh untuk menjadi kenyataan. Tapi inilah kenyataan. Dan kalau kamu melihat lebih dalam, ini bukan soal rumah, kendaraan, atau tempat parkir. Ini tentang beban tak kasatmata dalam hati, tentang jebakan halus dari rasa punya, dan tentang bagaimana distorsi batin yang kecil bisa merambat keluar dan menyentuh hidup orang lain.

Lalu muncul pertanyaan yang pelan tapi menusuk: karakter seperti apa yang dibentuk oleh cara hidup seperti itu? Apa yang berkecamuk dalam pikirannya sampai membuat keputusan seperti itu? Dan yang paling penting --- apa yang bisa kamu pelajari darinya, supaya tidak tanpa sadar melakukan hal yang serupa, meskipun dalam bentuk yang berbeda?

Ini bukan tentang menghakimi orang lain. Ini tentang mengarahkan pandanganmu ke dalam. Bertanya dengan jujur: di bagian mana dari hidupmu kamu juga sedang memegang "garasi kosong" --- tempat penuh potensi yang dibiarkan tertutup, bukan karena tak bisa digunakan, tapi karena ada sesuatu dalam dirimu yang menolak membukanya.

Kepemilikan dan Ilusi Kendali

Masyarakat modern menjunjung tinggi kepemilikan sebagai tanda keberhasilan. Punya rumah, mobil, bisnis --- semua itu dipandang bukan cuma sebagai pencapaian, tapi juga cerminan dari nilai dirimu. Tapi ada harga tersembunyi dari kepemilikan ketika ia mulai melekat pada ego. Apa yang kamu punya bisa mulai punya dirimu. Bukan karena beban fisik, tapi karena beban spiritual yang diam-diam ia tanamkan dalam hati.

Dalam Islam, kepemilikan bukanlah hal yang abadi --- ia adalah amanah. Al-Qur'an mengingatkanmu:

"Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah sebagian dari hartamu yang Dia telah menjadikan kamu sebagai pemegang amanahnya." (QS. Al-Hadid 57:7)

Apa yang kamu punya bukan sepenuhnya milikmu. Itu adalah titipan --- untuk digunakan bukan cuma demi kebutuhanmu, tapi juga untuk kebaikan lingkungan dan masyarakat yang kamu huni.

Tapi saat rasa punya berubah menjadi tameng bagi ego --- saat ia lebih banyak digunakan untuk menjauhkan orang lain ketimbang mendekatkan --- kamu mulai kehilangan arah amanah itu. Kamu jatuh dalam ilusi yang berbahaya: kalau karena sesuatu adalah milikmu secara hukum, maka kamu boleh menggunakannya sesuka hati, bahkan kalau itu menyulitkan hidup orang lain.

Pola Pikir Kekurangan di Tengah Kelimpahan

Dalam ilmu ekonomi perilaku, dikenal istilah "scarcity mindset" --- pola pikir kekurangan. Ini menjelaskan bagaimana seseorang, meskipun sudah punya cukup, tetap hidup dalam ketakutan akan kehilangan. Dan akibatnya, mereka menimbun, mengunci, dan melindungi sumber daya jauh melebihi kebutuhan. Bukan karena kebutuhan nyata, tapi karena cengkraman psikologis dari rasa takut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline