Belakangan ini, di media sosial kembali diramaikan oleh tren literasi bertajuk “10 Books to Know Me”. Pengguna media sosial, terutama para pencinta buku, membagikan daftar sepuluh buku yang dianggap paling merepresentasikan diri mereka. Daftar ini biasanya berisi buku-buku yang berkesan secara emosional, menggambarkan nilai hidup, atau sekadar mencerminkan selera bacaan pribadi. Menurut The Guardian (2024), tren ini mulai populer di platform X dan TikTok sejak awal 2023 dan berkembang menjadi cara baru untuk mengekspresikan diri di dunia digital.
Fenomena semacam ini bukan hal baru. Sebelumnya, muncul tren serupa seperti “10 Movies to Know Me” atau “My Personality in Albums”. Bedanya, ketika medium yang digunakan adalah buku, maknanya menjadi lebih personal dan reflektif. Buku sering kali menyimpan memori, ide, dan nilai yang membentuk cara berpikir seseorang. Seperti dijelaskan Claire Squires dalam bukunya The Digital Literary Sphere (2019), aktivitas literasi daring sering kali menjadi ruang di mana pembaca membangun identitas dan menegaskan nilai-nilai yang mereka yakini.
Bagi para penggiat buku, tren ini bisa menjadi sarana baru untuk berjejaring dan berdiskusi. Melalui daftar buku yang dibagikan, pembaca bisa saling mengenal, menemukan kesamaan selera, atau bahkan menambah referensi bacaan baru. Berdasarkan laporan Pew Research Center (2023), komunitas daring berbasis literasi meningkat partisipasinya hingga 27 persen dalam dua tahun terakhir. Artinya, tren seperti ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan digital, tetapi juga memperluas ruang interaksi literasi di dunia maya.
Namun, seperti banyak tren lainnya, “10 Books to Know Me” juga punya sisi yang patut dicermati. Dalam beberapa kasus, daftar tersebut digunakan untuk membangun citra intelektual di ruang publik. Beberapa orang memilih buku-buku yang dianggap “berkelas” agar tampak berwawasan luas. Fenomena ini sejalan dengan konsep virtue signaling dalam jurnal Social Media + Society (2021), di mana seseorang menggunakan simbol budaya untuk memperkuat citra diri di hadapan publik digital. Artinya, motivasi di balik tren ini bisa beragam antara refleksi tulus dan strategi presentasi diri.
Di sisi lain, tren ini juga memperlihatkan perubahan fungsi membaca di era digital. Aktivitas yang dahulu bersifat pribadi kini beralih menjadi praktik sosial yang terbuka. Melalui daftar “10 Books to Know Me”, pengalaman membaca tidak hanya berhenti pada interaksi antara pembaca dan teks, tetapi juga menjadi sarana komunikasi identitas di ruang publik. Hal ini menunjukkan bahwa membaca kini melibatkan dimensi sosial dan representasional, di mana individu tidak hanya menafsirkan teks, tetapi juga menampilkan versi tertentu dari dirinya melalui pilihan bacaan. Dalam konteks ini, fenomena tersebut bisa dilihat sebagai bagian dari dinamika budaya digital tanpa perlu dinilai sebagai baik atau buruk. Dengan demikian, fenomena “10 Books to Know Me” menunjukkan bagaimana budaya membaca beradaptasi dengan dunia digital. Buku kini bukan hanya sumber ilmu, tetapi juga medium ekspresi diri dan interaksi sosial.
Referensi :
The Guardian. (2024). ‘10 Books to Know Me’ Trend Is Bringing Readers Together Online.
Squires, C. (2019). The Digital Literary Sphere: Reading, Writing, and Selling Books in the Internet Era. Oxford University Press.
Pew Research Center. (2023). Online Reading Communities and the New Culture of Book Sharing.
Social Media + Society. (2021). Virtue Signaling and Identity Performance in Online Culture.