Lihat ke Halaman Asli

Ayu Diahastuti

TERVERIFIKASI

an ordinary people

Cerpen | Lurik

Diperbarui: 3 April 2020   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: kain lurik (sumber: Winnetnews.com)

Derit bangku tua ditarik terdengar dari pendopo depan. Tatkala dua pasang mata menggulung keinginan.

"Dhi, adhi kan sudah tahu, kalau sebenarnya aku dulu sudah ada keinginan buat nglamar adhi, to?" suara lelaki dewasa antara usia empat puluhan terdengar memecah kesunyian pendopo.

Laki-laki itu meletakkan bungkus rokok dan korek api gasnya di atas meja marmer yang dingin, sedingin tatapannya pada Ragil yang menyibukkan diri, menyingkirkan kain-kain lurik yang masih berserakan di dekat meja. Ia tak memperdulikan semua kata-kata kekasihnya.

"Apa yang kau inginkan lagi, Dhi?" lelaki matang usia itu kembali berusaha berpikir keras. Batinnya ia sejajarkan dengan wanita pujaanya yang kini tak jua berujar sepenggal kata pun.

"Saya juga tahu, Mas Hermawan juga sudah menunggu lama. Tapi....mas Hermawan pasti juga tahu, keluarga Suryodiningrat ini sedang sakit. Kami harus memulihkan nama baik kami, mas," sahut Ragil.

"Bukan berarti Ragil trus ga nikah, kan?" Hermawan menyulut sebatang rokok di atas meja marmer. Dihisapnya pelan, kepulan asap keluar dari mulutnya.

"Mas Her jangan banyak merokok, to. Sudah dipesen sama dokter Anna, kan?" Ragil berusaha mengalihkan pembicaraan.

Hermawan memandang pasak di bagian atas pendhopo yang bertuliskan aksara jawa. Kerap kali ia menemukan sesuatu yang agung dalam tiap goresan pada kayu jati kuno berwarna coklat tua itu. Matanya terus memandang pasak yang hanya bertuliskan "ma ga ba tha nga" tanpa perdulikan Ragil yang tengah diam dalam benaknya.

"Ibuk kirim salam, Dhi. Beliau bilang kapan mampir Surabaya. Mau diajak ke pasar Turi lagi," tiba-tiba Hermawan pun ikut mengalihkan pembicaraan. "Kapan kamu bisa ke sana?"

Ragil tak serta merta menjawab. Di tangannya penuh nota-nota pembelian bahan pewarna baju dan nota hasil penjualan kain lurik dari pegawainya, Sumi yang ia terima sore ini.

Hermawan tak pernah keberatan bila kedatangannya disambut Ragil yang masih sibuk dengan urusan kiosnya di pasar Klewer. Tapi sore ini lain. Niatnya dari Surabaya ke Solo, hanya untuk satu tujuan. Memastikan Ragil menjadi istrinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline