Lihat ke Halaman Asli

Deni

Manusia biasa

Puisi: Upeti Malam

Diperbarui: 22 Mei 2020   06:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kekosongan lirih menggeliang dengan hening. Sepulangnya napas dari jeruji bisu, bingkai abu seakan-akan lebih pengertian ketimbang penghuni nyata. Kalimat-kalimat pupus seperti mendewakan haknya dari keadaan. Sedangkan upeti malam hanya duduk teralienasi di atas pangkuan doa.

Keterpaksaan adalah perigi keistimewaan hidup. Kepala yang tergadai mengangkangi hal-hal kering dan bermandikan tawar. Mungkin benar adanya, kepastian hanyalah musyawarah waktu yang belum tentu jumlah. Langkah pun terbit di antara pusara mimpi yang jarang tercuci oleh kesenian hati. Dari sehelai jasad yang masih dikandung harap, tulang-tulang kini meringis di bawah hujan.

Andai senarai air mata menjadi penawar, pastinya akan ada kesan yang harus dijual. Meski latar bianglala sudah mulai keropos dan tak layak untuk dijadikan mahkota. Mungkin setelahnya, berkas itu hanya akan menjadi bahan pengajuan takdir kecil-kecilan semata.

Lantas, pertanyaan mana yang lebih romantis? Bersiteguh di dalam dekapan duka atau mencoba berbincang-bincang sejenak dengan dunia semestinya? Namun, jawaban itu enggan mekar bersama kekalahan. Kini aku pun menyadari, bahwa sosok kehilangan adalah hantu yang paling jahil di antara rindu yang bergelantungan.

Sukabumi, 21 Mei 2020




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline