Seorang perempuan berkebaya dan berkerudung berjalan pada malam hari dengan menggendong bayi. Ia adalah Sukaesih (Ratna Asmara) yang berniat membawa anaknya ke klinik yang dikelola dr. Samsi. Cerita tentang bayi Sukaesih dan dr Samsi ini menjadi inti cerita film berjudul Dr. Samsi yang dirilis tahun 1952.
Film berjudul Dr. Samsi ini merupakan debut Ratna Asmara sebagai perempuan sutradara pertama di Indonesia. Naskah Dr. Samsi awalnya adalah naskah sandiwara teater karya Andjar Asmara yang laris dipentaskan hingga ke mancanegara hingga ke Burma dan India.
Dr. Samsi sesuai judulnya berkisah tentang seorang dokter bernama Samsi yang memiliki hubungan gelap dengan perempuan bernama Sukaesih. Suatu ketika Sukaesih meninggalkan anaknya di klinik yang dikelola dokter tersebut.
Oleh karena anak dr. Samsi dari istri sahnya meninggal hari itu dan kedua bayi itu mirip, maka dirawatlah bayi Sukaesih tersebut dan diberi nama Sugiat. Istri dr. Samsi tidak begitu curiga ketika melihat bayinya agak sedikit berbeda perawakannya.
Konflik bermula ketika Leo, eks asisten klinik dr. Samsi, terlilit utang. Ia adalah suami Sukaesih di mana keduanya mulai bertemu saat Sukaesih meninggalkan bayinya. Ia kemudian mencoba memeras dr. Samsi dengan informasi bayi tersebut.
Nampak sosok Ratna Asmara yang berperan sebagai Sukaesih di film Dr. Samsi (sumber gambar: MUBI)
Bisa Saksikan Situasi Jakarta Tahun 1950an
Cerita film Dr. Samsi ini tergolong fresh pada masa itu. Pada tahun-tahun tersebut, sineas film banyak menggarap film-film dengan tema perjuangan. Akan tetapi Ratna memilih memboyong Dr. Samsi yang lebih kental nuansa dramanya.
Film drama ini memiliki bumbu komedi dan ketegangan. Bumbu komedinya selintas mengingatkan pada gaya Srimulat, yang kental dengan olok-olokan antar asisten rumah tangga. Selain diisi dengan lagu-lagu yang dibawakan pemain, film ini juga disemarakkan dengan tarian muda-mudi.
Dengan menyaksikan film Dr. Samsi ini penonton seolah-olah diajak ke situasi Jakarta pada tahun 1950-an. Di rumah-rumah keluarga yang kaya lazim diadakan pesta dengan musik dan tarian. Dialognya relatif menggunakan bahasa Indonesia baku, dengan kata-kata yang jarang didengar seperti 'tempo-tempo' yang sekarang lebih umum dengan istilah 'jalan-jalan'.
Tayang perdana setelah proses digitasi di Amsterdam (sumber gambar: Umi Lestari)
Jakarta dalam film ini masih asri, banyak pepohonan dan jalanan lebar yang relatif lengang. Kliniknya masih jadul dengan meja pendaftaran dan bangku panjang. Masih ada sungai bersih yang bisa dilalui warga dengan sampan.