Sempat lega karena tidak perlu meliput kasus keracunan di Cipongkor, Bandung Barat, ternyata saya tetap tidak bisa lepas dari jeratan banjir. Kali ini bukan di kota orang, melainkan di halaman rumah sendiri---Lembang. Lembang gitu loh! Berada di dataran tinggi Bandung Utara, kok banjir?
Ironis sekali, hujan hanya sebentar, genangan bisa betah berlama-lama. Memang saya benci air, ya, tapi karena sistem drainase seolah-olah ikut nyender di pinggir jalan sambil pura-pura pingsan.
Saya jadi ingat arti kata "Lembang"---lekukan, ceruk, tempat air mengendap. Jadi secara geografis memang takdirnya begitu. Tapi, masa iya harus pasrah? Lalu pejabat datang, bawa rombongan kamera, berwacana sana-sini.
Yang diperbaiki apa? Trotoar dicat kinclong. Padahal akar masalah jelas-jelas ada di drainase yang mampet. Kadang saya bertanya, ini pemerintah fokus membereskan banjir, atau lagi ikut lomba mural jalanan?
Oleh-oleh Liputan yang Tak Terlupakan
Awalnya, liputan banjir masih saya anggap petualangan. Waktu liputan banjir di Bekasi, saya malah sempat senang: bisa foto-foto gaya, jepret pejabat sok heroik pakai sepatu bot, sampai wawancara dengan janji-janji manis ala angin surga. Tapi momen itu berbalik arah tahun 2010, saat liputan banjir di Karawang.
Air sungai meluap, sawah jadi danau dadakan, pemukiman berubah kolam renang. Lebih gawat lagi, air banjir ternyata bermanfaat sekali bagi pabrik-pabrik: jadi jalur ekspres pembuangan limbah. Iya, air comberan premium langsung di-delivery lewat pipa rahasia. Dan siapa yang kecemplung setiap hari? Ya wartawan kayak saya.
Dulu saya pikir banjir hanya soal basah dan kedinginan. Nyatanya, saya dapat bonus berupa dermatitis kontak iritan. Gatal, perih, kulit terus basah seolah-olah betis saya ada saluran air yang bocor jadi rembes. Bekal liputan bukan cuma kamera dan buku catatan, tapi juga kapas, kassa, dan sabar yang makin menipis.
Waktu akhirnya menyerah ke dokter kulit, ternyata saya bukan pasien eksklusif. Banyak juga wartawan yang bernasib sama. Kata dokter, gejalanya mulai dari merah, gatal, iritasi, sampai luka terbuka yang bisa bikin infeksi. Obatnya? Disuntik, mahal, dan sakit. Tapi demi bisa liputan lagi, saya ikhlas pantat diganjar jarum. Rasanya? Duduk jadi olahraga akrobat, tidur miring jadi drama. Untung saja keesokan harinya luka mengering cepat.
Cuma ya, bekasnya bertahun-tahun baru hilang. Dan yang paling memalukan: saat pijat lulur, mbaknya sempat kaget lihat bekas luka di betis. Dikira tato naga! Daripada ribet menjelaskan, saya iya-kan saja. Padahal, naga itu lahir bukan dari tinta, melainkan dari kebencian liputan banjir.
Kebencian Liputan Banjir: Trauma yang Tak Hilang
Sejak saat itu, saya bukan lagi wartawan yang heboh kalau dapat tugas liputan banjir. Saya justru menggerutu: "Kenapa sih banjir tidak kunjung selesai?" Bayangkan, tiap tahun berita banjir itu-itu saja: genangan, warga mengungsi, pejabat datang, janji manis diumbar, lalu... selesai. Besok-besok banjir lagi.