Lihat ke Halaman Asli

Dewiyatini

Ibu Rumah Tangga

Lembang Banjir Lagi, Trotoar Jadi Pajangan

Diperbarui: 6 Agustus 2025   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Setiap kali hujan deras mengguyur kawasan Lembang lebih dari satu jam, warga di sekitar Pasar Panorama sudah tahu apa yang akan terjadi. Air mulai menggenang di jalan utama, trotoar yang baru dibangun perlahan tenggelam, dan genangan air merembes ke rumah-rumah di sekitarnya. Bukan kejadian baru, tapi terus berulang.

Padahal, dua proyek besar yang menelan anggaran fantastis sudah dijalankan. Trotoar dipercantik, fasilitas publik dipercantik. Tahap pertama proyek pembangunan trotoar disebut menghabiskan sekitar Rp4 miliar, disusul proyek tahap dua yang menelan Rp3,7 miliar.

Secara visual, hasilnya memang mengesankan. Trotoar terlihat modern dan estetik. Tapi hanya saat cuaca cerah. Begitu hujan deras datang, keindahan itu hanyalah latar belakang dari persoalan lama yang tak kunjung dituntaskan: banjir akibat buruknya drainase.

Air dari selokan tak mampu mengalir dengan baik. Justru meluap, membanjiri jalan utama, dan membawa serta tumpukan sampah yang selama ini tersembunyi di balik saluran tertutup. Ketika jalan tergenang, bukan hanya lalu lintas terganggu, tapi aktivitas warga juga ikut lumpuh.

Bagi pedagang, kondisi ini menjadi mimpi buruk. Dagangan basah, pengunjung enggan mampir, bahkan kerugian kerap kali tak terelakkan. Warga yang tinggal di sekitar pasar pun ikut terdampak. Genangan air "nekad" masuk ke rumah, membawa bau tak sedap dan risiko penyakit.

Yang paling disayangkan adalah, proyek yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah itu tidak menyentuh akar masalah: sistem drainase. Seolah keindahan trotoar lebih penting ketimbang aliran air yang semestinya menjaga area tetap kering dan aman saat musim hujan.

Proyek fisik seperti trotoar memang terlihat nyata dan cepat diapresiasi publik. Tapi ketika fungsinya tidak didukung oleh sistem drainase yang baik, maka keindahan itu menjadi semu. Yang tersisa hanyalah frustrasi warga yang berkali-kali harus berjuang mengatasi banjir di halaman rumahnya sendiri.

Pemerintah daerah semestinya belajar dari pengalaman ini. Bahwa infrastruktur bukan soal tampilan luar semata, tapi menyangkut fungsionalitas dan dampaknya pada kehidupan masyarakat. Tanpa itu, proyek-proyek pembangunan akan tampak seperti formalitas belaka.

Kini, masyarakat Lembang, terutama yang terdampak langsung oleh banjir rutin di sekitar Pasar Panorama, mulai angkat suara. Mereka tidak diam. Mereka menulis, berbagi cerita di media sosial, dan menuntut tanggung jawab atas kondisi yang terus terjadi.

Sebagai bagian dari masyarakat, kita pun bisa ikut bersuara. Terutama kita---ibu-ibu, penulis lepas, warga biasa yang melihat sendiri bagaimana ketidaktepatan prioritas pembangunan bisa berdampak besar bagi keseharian warga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline