Lihat ke Halaman Asli

Dewiyatini

Ibu Rumah Tangga

Cerita Rustiyana dan Jurnal Kinanti: Ketika Guru Menulis, Pendidikan Jadi Hidup

Diperbarui: 13 Juli 2025   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi Dewiyatini

Pop up pesan adanya penugasan itu datang di tengah siang yang gerah. Seorang editor mengirimkan pesan: "Cari program unggulan dari dinas mana saja di KBB. Biasa untuk pemuatan Sabtu."

Tugas seperti ini sudah biasa, tapi kadang terlupakan. Karena banyaknya agenda menulis dan ngonten. Kali ini semesta mendukung. Saya mendapat kabar akan ada kegiatan pendidikan di Lembang. Salah satu narasumbernya: Sekretaris Dinas Pendidikan KBB, Rustiyana.

Tidak perlu menyusun janji di kantor dinas yang jauh di Ngamprah. Sekalian liputan, sekalian ngobrol, sekalian dapat cerita. Dan yang lebih menyenangkan: Pak Rustiyana tidak menyodorkan syarat apa pun. Beliau bahkan menyambut pertanyaan saya dengan ramah dan mengalir. Dari sinilah artikel ini bermula.

Rustiyana diusulkan sebagai PNS Berprestasi tingkat Provinsi Jawa Barat tahun 2025. Alasannya bukan karena jabatan atau masa kerja panjang, tapi karena inovasi yang ia gagas: Jurnal Pendidikan Kinanti. Sebuah ruang digital dan cetak untuk menampung karya tulis para guru di Kabupaten Bandung Barat.

"Jurnal ini bukan sekadar dokumentasi. Ia jadi jembatan bagi guru untuk berpikir, menulis, dan berbagi," ujar Rustiyana, sambil tersenyum kecil di sudut tenda kegiatan.

Wajahnya bersahaja, tapi kalimatnya mengalir seperti orang yang sedang mengajar di kelas.

Jurnal Kinanti hadir dalam dua versi: daring dan cetak. Siapa saja bisa membaca dan mengaksesnya. Untuk para guru, jurnal ini menjadi semacam gerbang: bisa digunakan untuk menambah angka kredit, bisa pula menjadi cermin atas pengalaman mereka di kelas. Beberapa tulisan bahkan dikutip di forum pelatihan pendidikan tingkat kabupaten hingga provinsi.

Saya sempat membaca beberapa edisi. Ada yang menulis soal metode belajar aktif, ada yang membagikan kisah personal menghadapi siswa dengan kebutuhan khusus. Gaya bahasanya bukan akademik kaku. Justru karena ditulis dari pengalaman sendiri, jadi renyah dan terasa dekat.

Rustiyana sendiri tampaknya tidak ingin jurnal ini berhenti di Bandung Barat. Ia punya rencana untuk menjangkau lebih luas, membuka peluang kolaborasi lintas daerah. "Kami ingin jurnal ini jadi ruang belajar bersama. Bukan sekadar tempat menyetor karya untuk kepentingan administrasi," katanya.

Ia mengakui, ide ini tidak akan jalan tanpa dukungan dari guru-guru yang mau menulis. "Mereka menulis bukan karena disuruh, tapi karena sadar ada nilai yang bisa dibagikan," ujarnya. Di matanya, kontribusi para guru ini seperti benih: tumbuh diam-diam, tapi membawa harapan besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline