Kasus korupsi Pertamina merupakan contoh kasus hukum yang kompleks. Pertamina, perusahaan minyak negara Indonesia, diduga melakukan korupsi dalam pengadaan minyak mentah, melibatkan beberapa pejabat dan pihak ketiga, serta menyebabkan kerugian negara triliunan rupiah. Menurut filsafat hukum positivisme, korupsi Pertamina harus dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, filsafat hukum naturalisme berpendapat bahwa korupsi Pertamina tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip moral dan etika, seperti prinsip kejujuran dan transparansi.
Oleh karena itu, pelaku korupsi harus mempertanggungjawabkan tindakannya secara moral dan etika. Di sisi lain, filsafat hukum relativisme melihat korupsi Pertamina sebagai fenomena sosial dan budaya yang kompleks, yang melibatkan faktor-faktor seperti kekuasaan, uang, dan jaringan sosial. Penanganan kasus korupsi Pertamina harus mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang relevan, serta melibatkan berbagai pihak, seperti masyarakat sipil, media, dan lembaga negara. Dengan demikian, filsafat hukum positivisme, naturalisme, dan relativisme memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang bagaimana hukum harus diterapkan dalam kasus korupsi Pertamina.
Lalu mengapa madzhab hukum positivisme masih eksis dalam masyarakat? Madzhab positivisme masih eksis dalam masyarakat karena beberapa alasan. Pertama, madzhab ini menawarkan keteraturan dan kejelasan dalam menerapkan hukum, sehingga masyarakat dapat memahami dan mengikuti aturan yang jelas dan tegas. Kedua, madzhab positivisme dapat memberikan stabilitas dan keamanan dalam masyarakat, karena adanya aturan yang jelas dan tegas membuat masyarakat merasa aman dan terlindungi dari kekacauan dan ketidakpastian.
Madzhab positivisme juga dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam menerapkan hukum, sehingga masyarakat dapat menikmati keadilan dan kepastian yang lebih cepat dan efektif. Selain itu, madzhab positivisme telah berkembang selama berabad-abad dan telah menjadi bagian dari tradisi dan sejarah hukum di banyak negara, sehingga madzhab ini masih eksis dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam masyarakat.
Keterlibatan negara dan lembaga hukum dalam menerapkan hukum juga menjadi salah satu alasan madzhab positivisme masih eksis. Madzhab ini seringkali dikaitkan dengan keterlibatan negara dan lembaga hukum dalam menerapkan hukum, sehingga madzhab ini masih memiliki peran yang penting dalam masyarakat. Dengan demikian, madzhab positivisme masih menjadi salah satu madzhab hukum yang berpengaruh dalam masyarakat.
Yang selanjutnya tentang argument saya mengenai madzhab hukum positivisme dalam hukum di indonesia yaitu, saya berpendapat bahwa madzhab hukum positivisme masih sangat relevan dan berpengaruh dalam sistem hukum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek:
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia masih menggunakan pendekatan positivisme dalam mengatur hubungan antara negara dan warga negara. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan negara dan hak-hak warga negara.
Kedua, sistem hukum di Indonesia masih menggunakan pendekatan kodifikasi, yaitu pengaturan hukum yang sistematis dan terstruktur dalam bentuk undang-undang dan peraturan lainnya. Hal ini merupakan ciri khas dari madzhab hukum positivisme.
Ketiga, lembaga peradilan di Indonesia masih menggunakan pendekatan positivisme dalam memutuskan perkara, yaitu dengan mengacu pada undang-undang dan peraturan yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari putusan-putusan pengadilan yang selalu mengacu pada undang-undang dan peraturan yang relevan. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa madzhab hukum positivisme masih sangat relevan dan berpengaruh dalam sistem hukum di Indonesia.
Nama: Desyta Restu Aji
Nim: 232111013