Mohon tunggu...
Septyan Hadinata
Septyan Hadinata Mohon Tunggu... buruh

Ikhlas bersama sabar dalam mengembara di dunia

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kakek Kopral, Bapak Kapten, Bangga Jadi Anak Kolong;

5 Oktober 2025   10:35 Diperbarui: 5 Oktober 2025   10:36 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto : dok. pribadi 

Aku selalu merasa ada sesuatu yang istimewa mengalir di dalam nadiku---bukan karena keturunan bangsawan, tapi karena aku lahir dari darah para pejuang. Kakekku, yang dulu dikenal masyarakat dengan sebutan Pa Upas Kopral, adalah seorang prajurit TNI yang ikut menjaga detak pertama kemerdekaan Republik ini.

Masih muda saat itu, namun semangatnya lebih tua dari umurnya. Dalam usia remaja, kakek sudah bergabung dengan para pejuang mempertahankan kemerdekaan pada masa Agresi Militer Belanda II. Ia berlari di antara peluru, membawa keyakinan bahwa merah-putih harus tetap berkibar di langit tanah Sunda.

Selepas perang kemerdekaan, tugas belum usai. Kakek masih harus menghadapi gelombang baru: pemberontakan DI/TII di wilayah Tasikmalaya. Saat itu, hidupnya bukan hanya soal bertempur, tapi juga bertahan. Ia menjadi target buruan gerombolan DI/TII karena keberaniannya. Kakek berpindah-pindah tempat, meninggalkan keluarga demi keselamatan bangsa. Kampung halamannya dibakar, rumahnya hangus, dan puluhan warga menjadi korban. Sampai kini, bukti sejarah itu masih ada: kuburan massal di Kampung Sudi, Desa Muncang, Kecamatan Sodonghilir, Tasikmalaya --- saksi bisu perjuangan dan penderitaan masa itu.

Dalam operasi besar Pager Betis yang mengepung Kartosuwiryo, pemimpin DI/TII, kakek dipercaya menjadi komandan pasukan. Salah satu prajurit di bawah pimpinannya adalah anaknya sendiri --- ayahku. Seorang prajurit muda dari pasukan Siliwangi yang ikut dalam operasi yang sama. Dari medan operasi itulah, takdir mempertemukan ayah dengan ibu.

Ayahku meneruskan jejak itu. Setelah masa pergolakan usai, ia tetap mengabdi dalam TNI dan pernah ditugaskan dalam operasi Seroja di Timor-Timur pada tahun 1970-an. Ia menutup masa baktinya sebagai Danramil dengan pangkat terakhir Kapten. Dua sosok---kakek dan ayah---dua generasi pejuang yang sama-sama mengabdikan hidupnya untuk merah putih.

Kini keduanya telah tiada, kembali kepada Sang Pencipta dengan seragam kehormatan di dada. Tapi kebanggaan itu tak ikut terkubur. Ia hidup dalam setiap hembusan napas cucunya ini. Dalam setiap upacara bendera, setiap lagu kebangsaan, aku seakan mendengar langkah sepatu lars mereka yang gagah menapak tanah.

Sebagai cucu dan anak TNI, aku bangga bukan karena pangkat atau tanda jasa yang pernah mereka sandang. Aku bangga karena dari merekalah aku belajar arti sejati dari kata pengabdian: berjuang tanpa pamrih, berani tanpa benci, dan setia tanpa akhir.

Dalam momentum HUT ke-80 TNI tahun ini, aku ingin menundukkan kepala sejenak. Mengingat kembali dua pahlawan yang telah menanamkan semangat "TNI PRIMA -- TNI Rakyat, Indonesia Maju" jauh sebelum semboyan itu ada. Karena bagi mereka, menjadi TNI bukan sekadar profesi---melainkan panggilan jiwa untuk menjaga tanah air sampai titik darah penghabisan.

Selamat HUT ke-80 TNI.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun