Lihat ke Halaman Asli

Fenomena fantasi sedarah difacebook: imajinasi dan bahaya moral

Diperbarui: 30 Mei 2025   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Akhir-akhir ini kasus fenomena fantasi sedarah muncul di berbagai platform media sosial, termasuk Facebook. Isi dari komunitas fantasi sedarah di Facebook umumnya berupa konten yang mengarah pada ketertarikan seksual dengan anggota keluarga sendiri atau inses. Grup-grup ini memuat berbagai jenis unggahan, mulai dari percakapan, cerita fiksi, hingga foto dan video yang secara eksplisit menampilkan atau membahas hubungan sedarah, termasuk konten pornografi anak. Banyak pengguna yang membagikan cerita, gambar, atau bahkan diskusi terbuka mengenai topik yang sebenarnya sangat sensitif di masyarakat kita. Fenomena ini tentu menimbulkan pro dan kontra di kalangan warganet.

Dari satu sisi, sebagian orang menganggap fantasi hanyalah bentuk imajinasi yang tidak berbahaya selama tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Mereka berpendapat bahwa media sosial adalah ruang bebas berekspresi, termasuk untuk menyalurkan fantasi yang tidak bisa dilakukan di dunia nyata. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang merasa resah dan khawatir dengan maraknya konten seperti ini. Fantasi sedarah dianggap bisa mempengaruhi pola pikir, terutama bagi remaja yang masih labil dan mudah terpengaruh. Konten semacam ini dapat mengacaukan persepsi mereka tentang relasi keluarga, cinta, dan seksualitas. Ada risiko besar mereka tumbuh dengan pemahaman keliru bahwa hubungan sedarah adalah sesuatu yang lumrah atau bahkan menggairahkan, padahal kenyataannya merupakan bentuk kekerasan seksual dan pelanggaran hukum berat.

Keberadaan grup-grup fantasi sedarah di Facebook menunjukkan adanya upaya normalisasi perilaku menyimpang di ruang digital. Media sosial memudahkan penyebaran konten ekstrem, karena pengguna merasa aman bersembunyi di balik identitas palsu. Akibatnya, predator seksual bisa dengan mudah mencari dan memanipulasi korban, terutama anak-anak dan remaja yang aktif di media sosial. Fenomena ini juga memperlihatkan lemahnya pengawasan di platform digital. Meski Facebook dan media sosial lain memiliki kebijakan melarang konten pornografi dan eksploitasi seksual, implementasinya masih belum efektif. Banyak pelanggaran dilakukan secara terselubung atau menggunakan bahasa lokal yang sulit terdeteksi oleh sistem otomatis.

Dari sudut pandang agama, khususnya Islam, hubungan sedarah dilarang secara mutlak, baik dalam praktik nyata maupun dalam bentuk glorifikasi di dunia digital. Larangan ini bersifat prinsipil karena menyangkut perlindungan harkat keluarga dan kelestarian fitrah manusia. Selain itu, secara hukum, kegiatan di grup fantasi sedarah jelas melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU ITE, karena menyebarkan konten yang melanggar kesusilaan dan membahayakan anak-anak.

Oleh karena itu, perlu adanya edukasi literasi digital yang lebih kuat, baik dari keluarga, sekolah, maupun pemerintah. Platform seperti Facebook juga harus lebih tegas dalam memoderasi konten-konten yang berpotensi membahayakan moral dan perkembangan mental generasi muda. Fantasi memang bagian dari kreativitas, tapi harus tetap ada batas agar tidak menabrak norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline