Lihat ke Halaman Asli

Dede Abdurahman

Freelancer

Berteman dengan Ferry Irwandi : Konten, Kontroversi, dan Demokrasi yang Tak Boleh Padam

Diperbarui: 15 September 2025   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersama Ferry Irwandi dan teman-teman ketika di Derawan (Dokumentasi Pribadi)

Ada momen yang masih saya simpan baik-baik dalam ingatan ketika pernah sekamar dengan Ferry Irwandi ketika akan dan sedang mengikuti Winning Trip ke Derawan 5 tahun yang lalu. Beberapa hari ngobrol dan liat sifatnya yang santai namun penuh perhitungan, saya melihat dia bukan "orang biasa". Terlebih ketika melihat Ferry Irwandi saat ini, rasanya campur aduk---antara haru sekaligus bangga bisa kenal dan pernah bareng dengan dia.

Sosok Ferry bukanlah orang biasa. Ia tipe konten kreator yang kritis, lantang, bahkan kadang terkesan nekat. Isi unggahannya selalu penuh energi, bombastis, dan percaya diri tingkat tinggi. Tak jarang, ia membagikan informasi yang membuat orang terbelalak---konspiratif, konfrontatif, dan penuh kontroversi. Hasilnya? Ribuan komentar membanjiri tiap postingan, dari sanjungan para pengikut setia sampai caci maki para pembencinya.

Ferry seakan menjadi "anak emas" media. Setiap kalimatnya selalu menarik untuk dicuplik, dibahas, bahkan dijadikan headline. Begitu tajamnya kritik yang ia lontarkan, sampai-sampai ada pihak TNI yang merasa perlu meminta polisi menyelidiki apakah ada unsur pidana dalam unggahannya. Bayangkan, satu orang bisa membuat aparat negara sibuk menafsirkan kata-katanya.

Namun, ketika muncul ide dari seorang jenderal TNI untuk menjerat Ferry dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE, jelas itu keliru. Praktisi hukum mana pun tahu, pencemaran nama baik hanya berlaku jika yang merasa dirugikan adalah individu---manusia dengan perasaan. Bukan institusi, bukan lembaga, apalagi badan hukum. Itu pun deliknya bersifat aduan, artinya orang yang merasa nama baiknya tercemar harus melapor sendiri, tak bisa diwakilkan. Jadi jelas, pasal itu tidak bisa serta-merta dipakai untuk membungkam kritik Ferry.

Untungnya, pihak kepolisian memahami hal itu. Seharusnya persoalan ini selesai di situ, tanpa perlu terus diulang atau dijadikan bahan postingan berkali-kali. Kecuali, tentu saja, kalau ada yang memang ingin memanfaatkan momentum itu demi menaikkan exposure dan dukungan publik.

Sebelum era Ferry, sebenarnya sudah banyak yang dikenal sebagai "pejuang keadilan sosial" di dunia maya maupun media arus utama. Mereka lantang bersuara, mengkritik kebijakan, bahkan tak jarang memantik perdebatan. Tetapi seperti gelombang, mereka muncul, lalu perlahan tenggelam, mengikuti perubahan selera netizen yang memang cepat sekali bergeser.

Saya pribadi justru senang bila ada banyak suara kritis yang berani menggugat negara ini, tanpa rasa takut dikriminalisasi. Itu artinya demokrasi masih hidup, masih berada di jalur yang benar. Meski begitu, ada harapan yang lebih besar di dalam hati saya: semoga para kritikus hebat ini, termasuk Ferry---yang notabene mantan ASN---tak hanya bersuara di luar sistem, tapi juga berani masuk ke dalam lingkaran pemerintahan. Bayangkan jika idealisme dan gagasan mereka bisa diwujudkan langsung lewat kebijakan nyata. Mungkin, justru di situlah perubahan besar akan terjadi.

Sayangnya, realitas sering kali tak seindah itu. Banyak mantan aktivis, akademisi, atau praktisi swasta yang akhirnya bergabung dengan pemerintahan, justru tersandung pada tembok birokrasi. Ide-ide brilian mereka macet di jalan, terhambat oleh aturan dan sekat yang kaku. Akhirnya, gagasan itu hanya menguap, lalu dihirup lagi oleh generasi aktivis muda berikutnya, diteriakkan dengan semangat yang sama, sebelum mereka pun menemui jalan buntu yang serupa. Seolah-olah ada siklus yang berulang tanpa henti: kritik lantang di luar, lalu kebisuan di dalam.

Dan mungkin, di situlah pelajaran terbesar yang bisa kita petik. Bahwa perubahan bukan sekadar soal berani bersuara, tapi juga tentang keteguhan hati untuk tetap menjaga idealisme meski berada di dalam sistem yang penuh sekat. Ferry dan para kritikus lainnya adalah pengingat bahwa demokrasi tak boleh berhenti hanya jadi jargon. Ia butuh nyali, konsistensi, dan keberanian untuk tetap hidup, entah di luar, entah di dalam lingkaran kekuasaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline