Membangun Wisata Berkelanjutan Model Sumatera Barat
Oleh: Deddi Ajir
Pasca pandemi, geliat pariwisata di Sumatera Barat makin terasa. Ranah Minang menyimpan potensi besar sebagai destinasi wisata berkelanjutan yang kaya budaya, alam, dan nilai-nilai lokal. Tapi pengembangan wisata tak bisa cuma kejar jumlah wisatawan saja. Harus ada keseimbangan tiga pilar penting: keuntungan ekonomi (profit), pelestarian lingkungan (planet), dan pemberdayaan sosial budaya (people). Inilah yang dikenal dengan teori Triple Bottom Line (TBL).
Lebih dari itu, kesuksesan wisata berkelanjutan juga tergantung pada modal sosial---sejauh mana masyarakat saling percaya, punya jaringan kuat, dan patuh pada norma bersama untuk mencapai tujuan bersama. Di Sumbar, modal sosial ini sangat kental dengan falsafah ABS--SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) yang sudah diwariskan turun-temurun.
Mari kita tengok beberapa contoh nyata wisata berkelanjutan yang sudah berjalan di Ranah Minang. Di Nagari Saribu Gonjong (SARUGO), masyarakat terlibat penuh dalam pengelolaan homestay, pelestarian rumah gadang, pelatihan budaya, hingga pengembangan destinasi wisata. Gotong royong dan adat jadi pengikat kuat yang membuat wisata bisa dikelola secara mandiri dan berkelanjutan.
Begitu juga di Nagari Koto Sani, Solok, yang mengadopsi model Community-Based Tourism (CBT). Di sini masyarakat jadi subjek utama dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan wisata. Pendekatan ini sangat selaras dengan prinsip people-centered dalam teori TBL.
Wisata kuliner di Danau Singkarak juga menarik, dengan ikan bilih sebagai ikon khas yang menjadi daya tarik wisata sekaligus mendukung ekonomi masyarakat. Tapi tentu harus hati-hati agar jangan sampai overfishing merusak ekosistem danau yang indah itu.
Desa Pariangan yang sudah dikenal luas juga punya potensi besar untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Pelestarian lanskap budaya, tata ruang adat, dan ritual tradisional jadi magnet yang memperkuat identitas dan keunikan desa wisata ini.
Tidak kalah penting, wisata halal dan etis yang berbasis Maqashid Syariah mulai mendapatkan perhatian serius. Integrasi nilai Islam Minangkabau dengan pelestarian alam dan etika wisata mencerminkan kearifan lokal yang sarat makna spiritual dan sosial. Wisata bukan sekadar melihat dan menikmati, tapi juga menghormati, memuliakan, dan menjaga kesucian alam serta budaya.
Teori Triple Bottom Line mengingatkan kita bahwa pembangunan wisata jangan hanya soal keuntungan ekonomi saja. Banyak daerah terjebak eksploitasi berlebihan demi "profit" tanpa memikirkan kelestarian lingkungan dan kekuatan sosial. Di Sumatera Barat, nilai ABS--SBK bisa menjadi payung kearifan lokal yang menyatukan ketiga pilar ini secara harmonis. Dari sisi profit, wisata harus memberi manfaat ekonomi yang adil dan merata, bukan hanya dinikmati pelaku usaha besar, tapi juga masyarakat bawah. Model CBT di Saribu Gonjong dan Koto Sani sudah membuktikan hal ini. Dari sisi people, pemberdayaan masyarakat dengan pelatihan, peningkatan kapasitas, dan keterlibatan aktif dalam pengambilan keputusan adalah kunci suksesnya. Modal sosial berupa kepercayaan, gotong royong, dan kepemimpinan informal harus terus dihidupkan. Sedangkan dari sisi planet, wisata di Ranah Minang harus selalu menjaga kelestarian alam---dari gunung, danau, pantai, hingga hutan. Tanpa pengelolaan bijak, kerusakan ekosistem bisa mengancam keberlangsungan wisata.
Untuk itu, Sumatera Barat perlu menyusun roadmap wisata berkelanjutan yang mengintegrasikan ketiga pilar TBL dan modal sosial masyarakat. Beberapa langkah strategis yang bisa diambil antara lain memperkuat kelembagaan wisata desa berbasis komunitas dengan fokus pelatihan manajemen, hospitality, dan konservasi lingkungan. Selain itu, digitalisasi sektor pariwisata harus dioptimalkan untuk mendukung promosi, sistem reservasi, dan pengawasan pengunjung secara efektif. Sinergi antar pemangku kepentingan dengan pendekatan pentahelix---menggabungkan peran pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media---juga sangat diperlukan untuk pengembangan destinasi yang terpadu dan berkelanjutan. Terakhir, peningkatan literasi wisata berbasis nilai ABS--SBK penting agar pengelolaan pariwisata tetap menjaga marwah budaya dan nilai-nilai Islam Minangkabau yang menjadi jati diri masyarakat Ranah Minang.