Lihat ke Halaman Asli

Dean Ruwayari

TERVERIFIKASI

Geopolitics Enthusiast

Koperasi Merah Putih dan Jalan Menuju Kedaulatan Energi Indonesia

Diperbarui: 27 Agustus 2025   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kedaulatan energi sering dibicarakan dalam bahasa teknis soal megawatt, kilowatt jam, atau target bauran energi terbarukan. Namun, esensinya jauh lebih sosial-politik tentang siapa yang menguasai sumber daya, siapa yang menentukan harga, dan siapa yang merasakan manfaatnya. Selama energi dikuasai oleh segelintir korporasi atau terpusat pada negara, rakyat hanya akan menjadi konsumen pasif. Padahal Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa energi adalah milik rakyat.

Peluncuran Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) oleh pemerintah membuka babak baru dalam percakapan ini. Dengan lebih dari 80 ribu koperasi yang dibentuk di seluruh desa dan kelurahan, masing-masing didukung modal awal, infrastruktur dasar (gudang, cold storage, kios pangan), serta digitalisasi operasional, inisiatif ini digadang-gadang menjadi sokoguru ekonomi desa. Kritik memang muncul. Sebagian ekonom menilai program ini berisiko gagal bayar, membebani fiskal, dan berpotensi disalahgunakan. Namun, di balik segala keterbatasannya, Koperasi Merah Putih menyimpan peluang besar untuk menjadi motor demokratisasi energi di Indonesia.

Di Eropa, koperasi energi telah lama menjadi pilar transisi hijau. Di Jerman, hampir 40 persen kapasitas energi terbarukan dimiliki masyarakat, banyak di antaranya melalui koperasi. Di Denmark, ladang angin komunitas memberi warga kepemilikan langsung atas listrik yang mereka gunakan. Spanyol punya Som Energia, dengan puluhan ribu anggota. Federasi REScoop.eu bahkan menaungi lebih dari dua juta warga sebagai pemilik energi bersama. Praktik serupa hadir di Australia lewat Hepburn Wind di Daylesford dan proyek surya komunitas di Goulburn. Di Hawai'i, Ho'hu Energy lahir dari dorongan masyarakat asli Moloka'i untuk merebut kedaulatan energi dari utilitas besar.

Pelajaran dari kasus-kasus tersebut jelas: energi tidak harus dimonopoli. Energi bisa dikelola secara demokratis, desentralistis, dan inklusif. Konsep ini dikenal sebagai energy democracy (demokratisasi energi). Transisi energi bukan hanya soal mengganti batu bara dengan panel surya, tetapi juga mentransfer kekuasaan dari elit korporasi ke komunitas lokal.

Indonesia punya modal sosial dan sumber daya yang besar. Tradisi gotong royong sudah mengakar, sementara potensi energi terbarukan tersebar luas seperti matahari di hampir seluruh wilayah, angin di Nusa Tenggara, aliran sungai di Sumatra dan Papua, biomassa di desa-desa agraris. Jika koperasi Merah Putih diarahkan hanya untuk simpan-pinjam atau distribusi pangan, peluang emas ini bisa hilang. Tetapi jika diberi mandat mengelola energi, koperasi ini bisa menjadi pionir transisi energi berbasis rakyat.

Bayangkan: koperasi desa membangun PLTS atap untuk rumah warganya, koperasi petani mengolah limbah menjadi listrik biomassa, koperasi nelayan mengelola cold storage bertenaga surya, bahkan koperasi pesantren membangun mikrohidro untuk mandiri energi. Koperasi perkotaan bisa mengelola Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), sementara koperasi mahasiswa mengembangkan baterai komunitas. Semua ini mungkin jika kebijakan memberi ruang.

Hambatan utama terletak pada regulasi dan kapasitas. Perizinan energi masih rumit, tarif listrik belum mendukung inisiatif komunitas, sementara PLN tetap memonopoli distribusi. Banyak pengurus koperasi desa juga belum memiliki kapasitas teknis untuk mengelola proyek energi. Karena itu, keberhasilan Koperasi Merah Putih bisa digunakan menjadi pilar kedaulatan energi. 

Koperasi Merah Putih adalah inisiatif besar yang bisa menjadi instrumen demokratisasi energi. Dengan keberanian politik dan kebijakan yang tepat, koperasi ini bisa menjembatani cita-cita kedaulatan energi: rakyat bukan hanya membayar listrik, tetapi juga menjadi pemilik dan penerima manfaat. Jika diarahkan ke sektor energi, Koperasi Merah Putih bukan hanya menjawab tantangan iklim, melainkan juga menghidupkan kembali semangat gotong royong dalam wajah modern.

Pertanyaannya kini sederhana: apakah pemerintah berani menjadikan energi sebagai bagian integral dari agenda Koperasi Merah Putih, ataukah program ini akan berhenti pada distribusi pangan semata? Jawaban atas pertanyaan ini bisa menentukan apakah Indonesia benar-benar melangkah menuju kedaulatan energi berbasis rakyat, atau hanya mengulang pola lama dengan wajah baru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline