Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Pedang Matahari

Diperbarui: 8 Juni 2021   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pedang matahari. (Sumber Ilustrasi: Pixabay)

Suara kokok ayam mengagetkan malam dengan lantang. Terdengar suara jangkrik yang semakin lama semakin memudar. Kalong dan kelelawar pulang untuk beristirahat. Sementara burung emprit baru bangun dari tidur nyenyaknya.

Di suatu gubuk yang hampir rubuh, sebuah pintu terbuka lebar. Seorang lelaki tua baru saja melangkah keluar darinya. Ia berdiri untuk beberapa lama, lalu memperhatikan dunia sekitarnya mulai hidup dan bergerak.

"Fajar menyingsing! Cepatlah sedikit!" teriaknya sambil setengah menoleh ke dalam gubuknya.

Tak berapa lama kemudian, tampak seorang pemuda berlari tergopoh -- gopoh. Ia seperti habis mengalami mimpi buruk, dan saat di tengah mimpi ia dibangunkan dengan tiba -- tiba. Dalam keadaan setengah mengantuk setengah terjaga, ia menegakkan tubuhnya di samping sang cenayang.

"Tidurmu tak nyenyak, ya?" kata si cenayang.

"Aku tadi mimpi bertarung melawan seekor naga. Tak bisakah kau membiarkan aku untuk mengalahkannya dulu?" kata pemuda itu.

"Sebenarnya aku mau begitu. Tapi sebentar lagi pagi tiba. Aku harus membangunkanmu lebih awal agar kita bergegas."

"Kau mau mengajakku kemana?"

"Kita akan jalan -- jalan sebentar." kata si cenayang sambil menerawang ke atas langit. Lalu ia membuka tutup botol yang dipegangnya. Ia menuangkan setetes air ke tangannya, lalu memercikkan air itu ke badannya. Ia juga melakukan itu kepada si pemuda.

"Hei, aku sudah melek! Kau tak perlu menyiprati dengan air segala!" kata si pemuda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline