Lihat ke Halaman Asli

Indonesia dan Hantu yang Tak Kunjung Pergi

Diperbarui: 18 September 2025   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.detik.com/jabar/berita/d-6957996/sederet-kisah-kota-hantu-di-dunia-yang-menyeramkan 

Setelah membaca sejumlah artikel kritik belakangan ini, semakin jelas bahwa Indonesia sedang menghadapi masalah-masalah kompleks yang saling berkait. Mulai dari fenomena alam yang disikapi secara irasional, kasus hukum yang ditangani setengah hati, hingga krisis moral para pemimpin bangsa. Seperti ditulis F. Rahardi dalam "Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu", yang rusak bukan hanya alam dan lingkungan, tetapi juga moralitas para pemimpin.

Fenomena ledakan ulat bulu justru mengungkap ketakutan irasional masyarakat, sementara masalah sesungguhnya seperti kerusakan lingkungan dan krisis moral pemimpin terus diabaikan. F. Rahardi mengingatkan bahwa yang rusak bukan hanya alam, tetapi integritas para pengambil kebijakan.

Kekaguman pada artikel Rahardi bukan tanpa alasan. Penulis itu dengan cerdas menghubungkan fenomena ledakan populasi ulat bulu dengan kondisi sosial-politik Indonesia. Ulat bulu yang sebenarnya bukan ancaman serius justru menjadi simbol ketakutan irasional masyarakat, sementara masalah yang sesungguhnya seperti kerusakan moral dan lingkungan justru diabaikan.

Masalahnya, ketakutan irasional semacam ini tidak hanya terjadi pada fenomena alam. Dalam kasus pagar laut ilegal di Banten, kita melihat bagaimana penanganan hukum yang lamban dan penuh ketidakjelasan justru berpotensi memantik konflik sosial. Yang lebih memprihatinkan, proses hukum yang simpang siur antara instansi pemerintah hanya menguatkan anggapan bahwa negara telah kalah di hadapan kepentingan pengusaha.

Kasus pagar laut ilegal di Banten mencerminkan wajah suram penegakan hukum, dengan proses lamban dan simpang siur antar instansi pemerintah. Negara kerap kalah oleh kepentingan pengusaha, sementara masyarakat sipil yang turun tangan menyelamatkan konstitusi.

Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah melupakan janji dan sumpah jabatan. Anggota DPR yang dengan khidmat mengucapkan sumpah untuk berpedoman pada UUD 1945 dan mengutamakan kepentingan rakyat, ternyata dengan mudah melupakan janji tersebut. Upaya mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi mengenai revisi UU Pilkada adalah bukti nyata bagaimana sumpah hanya menjadi ritual formal tanpa makna.

Dua puluh enam tahun setelah Reformasi 1998, ternyata enam tuntutan reformasi masih relevan untuk disuarakan. Penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, dan penegakan etika bernegara masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Kita kehilangan tokoh-tokoh teladan seperti Hatta, Agus Salim, Nurcholish Madjid, Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan IJ Kasimo yang mampu memberikan keteladanan dalam kehidupan berbangsa.

Yang kita butuhkan sekarang bukan sekadar retorika, tetapi keberanian untuk melakukan introspeksi kolektif. Seperti ditunjukkan masyarakat sipil yang berhasil menggagalkan upaya pengabaian konstitusi oleh Baleg DPR, kontrol sosial tetap menjadi penjaga terakhir demokrasi kita.

26 tahun pasca Reformasi, enam tuntutan reformasi masih relevan---khususnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Krisis keteladanan mengingatkan pada figur seperti Hatta dan Gus Dur, seraya mempertanyakan kemampuan bangsa melahirkan pemimpin baru yang berintegritas.

Sudah saatnya seluruh komponen bangsa, terutama para pemimpin, kembali kepada khittah reformasi. Bukan dengan kata-kata, tetapi dengan bukti dan tindakan nyata. Hanya dengan demikian kita bisa mengusir "hantu-hantu" yang selama ini menghantui republic tercinta.

Sumber referensi:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline