Di hari Minggu yang cerah, saya berencana memperbaiki sarung jok motor lama yang biasa dipakai istri dan anak saya untuk keperluan ringan seperti berbelanja ke warung atau keliling komplek. Jok motor tersebut sudah mulai sobek, dan saya memutuskan mencari tempat reparasi yang mudah dijumpai di pinggir jalan kota Bogor. Pilihan saya jatuh ke sebuah kios sederhana bertuliskan "Abang Jok".
Yang menjadi ketertarikan saya, pemiliknya adalah seorang pemuda yang usianya tampak belum 30 tahun. Dia menyambut ramah dan memperlihatkan berbagai pilihan bahan sarung jok, dari yang ekonomis hingga premium. Saya memilih bahan yang cukup bagus dan tidak terlalu mahal, sesuai dengan saran si Abang. Saat dia mulai mengerjakan jok motor saya, obrolan pun mengalir.
Namanya Egi, dan usianya baru 27 tahun. Tapi pengalaman usahanya? Sudah 13 tahun! Artinya, dia memulai menekuni dunia reparasi jok sejak usia 14 tahun, ketika masih duduk di bangku sekolah menengah. Ia adalah lulusan SMK jurusan pemasaran, namun pilihannya setelah lulus tidak mengikuti tren kebanyakan anak muda yang sibuk mengejar kerja kantoran, melainkan fokus melanjutkan keterampilan yang sudah diasah sejak remaja: memperbaiki jok motor.
Egi, anak muda yang tidak terpengaruh dengan lamaran-lamaran pekerjaan (Foto: Dok. Pribadi)
Kisah Egi seolah menjawab tantangan besar yang dihadapi Indonesia hari ini: bagaimana memanfaatkan bonus demografi.
Bonus demografi adalah kondisi ketika penduduk usia produktif (15--64 tahun) jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan usia non-produktif. Indonesia tengah berada di fase ini, yang hanya akan terjadi satu kali dalam sejarah bangsa. Sayangnya, bonus ini bisa berubah menjadi beban apabila generasi mudanya tidak memiliki keterampilan, kreativitas, dan semangat wirausaha.
Sarung Jok Motor kembali mulus, adanya seorang anak muda pekerja ekonomi kreatif (Foto: Dok. Pribadi)
Tidak semua orang harus jadi pegawai negeri atau pekerja kantoran. Dunia kerja masa kini telah terbuka lebar untuk sektor informal, ekonomi kreatif, dan jasa berbasis keterampilan. Anak muda seperti Egi harusnya menjadi inspirasi, bahwa bonus demografi hanya akan jadi "bonus" kalau diisi dengan semangat seperti ini.
Sebelum saya pamit, saya sempat berpesan kepada Egi agar terus menjaga semangat dan meningkatkan keterampilannya. Ia tersenyum dan berkata, "Yang penting kerja halal dan bisa bermanfaat, Pak." Jawaban sederhana itu seperti tamparan halus bagi siapa pun yang masih beralasan dan menunggu keberuntungan datang dari luar. Padahal, keberuntungan bisa diciptakan dari tangan dan kemauan sendiri.
Semoga semangat Egi menular ke pemuda-pemuda lain di negeri ini. Di tengah tantangan pengangguran muda dan persaingan global, justru karakter seperti Egi-lah yang bisa membawa Indonesia melewati era bonus demografi dengan sukses.
Saya pulang bukan hanya dengan jok motor baru, tapi juga dengan semangat baru, bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja, bahkan dari sebuah kios kecil di pinggir jalan yang dikelola oleh pemuda bernama Egi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI