ADA hari-hari ketika menjadi baik terasa seperti hukuman. Ketika segala yang kupilih atas nama kebaikan justru berubah menjadi beban yang mematahkan. Aku lelah, bukan karena aku lemah, tapi karena aku terlalu lama berpura-pura kuat.
Kelelahan ini bukan sekadar tentang rituinitas. Bukan soal jam kerja yang tak kenal waktu, kolega yang mencari muka, atau sistem yang tak adil. Ini tentang rasa sesak yang menumpuk perlahan. Tentang berjalan pulang dengan tubuh yang utuh tapi jiwa yang remuk, dan tak ada satu pun tempat untuk benar-benar rebah.
Aku jenuh. Pada hidup yang serba terburu. Pada kenyataan yang tak memberi jeda. Pada dunia yang terus menuntut agar aku tetap tegak, tetap waras, tetap baik. Padahal yang paling ingin kulakukan hanyalah rebah diam-diam, dan tak harus menjelaskan apa-apa.
Aku berusaha terlihat kuat, tapi justru semakin lelah. Aku hidup dalam dua dunia, satu di luar, dunia yang menuntutku jadi sosok paripurna, pekerja tanpa cela, teman yang pengertian, manusia sempurna, dan satu lagi di dalam diriku yang memberontak, menangis, dan ingin berhenti.
Ada hari-hari ketika aku ingin diam dan sendiri. Menyepi di sebuah pondok kecil di tepi danau, di pinggiran hutan, jauh dari semua suara yang memerintah dan menuntut. Aku membayangkan duduk sendiri, menatap air yang tenang, dan menulis. Menulis bukan untuk dibaca siapa-siapa, tapi untuk mengingat siapa aku sebelum dunia membentukku menjadi alat.
Di tempat itu, aku ingin bertanya tanpa takut:
Apa sebenarnya arti semua ini?
Apa yang sebenarnya sedang kuperjuangkan?
Mengapa aku merasa jauh dari Tuhan, padahal setiap pagi Dia menyapaku lewat udara dan cahaya?
Mengapa materi tak pernah cukup, dan manusia lain terasa seperti ilusi?