Lihat ke Halaman Asli

Christine Setyadi

a mother of two yang lagi bucin dengan kisah-kisah sejarah

Jemilan, Suara Petani Lokal di 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Diperbarui: 17 Agustus 2022   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di jaman sekarang, adakah banyak pemuda yang memilih berkebun atau bertani sebagai profesi? Rasa-rasanya tidak.

Jemilan, adalah salah-satu pemuda, yang memilih dan berbangga hati menekuni usaha perkebunan. Lahan usahanya terletak 2.000-an km dari ibukota Jakarta, di Sumatera Utara. Tepatnya di dataran tinggi bernama Saribudolok, Kabupaten Simalungun. Udaranya dingin.

Penduduk di sana terbiasa memiliki selimut tebal di rumah. Atau berjaket di siang hari. Kalau berpergian ke sana dari Medan, jalan menanjak dan berkelok mesti dilalui. Sekitar 3-4 jam barulah tiba. Akh tapi rasa lelah terbayarkan karena suasana yang jauh berbeda dari perkotaan. Sejuk. Oksigen begitu melimpah.

Sudah sekitar dua tahun belakangan, Jemilan menekuni berkebun jeruk, cabe hijau kol, tomat, ubi dan sawi putih. Ibarat membesarkan anak, berkebun membutuhkan ketelatenan, kejelian, juga kesabaran. Itulah keseharian Milan. Diketahuinya detil sifat karakter masing-masing tanamannya, mana yang menyukai air, mana yang tidak terlalu, mana yang membutuhkan tambahan pupuk. Ketelatenan dan jam terbangnya mengurusi kebun juga membuatnya jeli menilai mana hasil yang baik, mana yang kurang.

Setiap jenis tanaman mempunyai masa panen berbeda-beda. Yang paling cepat panen adalah tomat, hanya  membutuhkan waktu 2 bulan. Lainnya memakan waktu antara 3 hingga 5 bulan untuk dipanen.

Ketika panen, Jemilan bisa mendapat sekitar 500 kg cabe, 2,5 ton kentang, 5 ton tomat, 5 ton ubi dan 5 ton kol. Hasil-hasil kebunnya dipasarkannya di Sumatera maupun Jawa. Untuk Sumatera, dikirimnya ke Medan, Siantar, Pekanbaru, Padang, Lampung, Jambi, Palembang. Untuk Jawa, ia memasok ke pasar Kramat Jati, juga Bogor, Surabaya, Bandung, Cikopo.

Hasilnya lumayan. Jemilan mampu bernafkah di situ. Tetapi apakah maksimal? Ternyata tidak. "Biaya terbesar adalah pupuk dan obat,"jelasnya, "belakangan ini harganya naik 100 persen. Biayanya naik 2x lipat."

"Belum lagi monopoli. Misalnya kol. Ada pengusaha di Jakarta yang mengimpor kol dari Cina. Akibatnya harga kol jatuh. Kol termasuk cepat busuk. Terpaksalah kami jual murah,"jelasnya lagi. Jemilan berharap hal-hal seperti ini bisa lebih diperhatikan pemerintah.

"Kualitas kol lokal bagus. Mengapa kebijakan pemerintah tidak mengutamakan petani lokal? Kami berusaha, tetapi regulasi pemerintah juga harus benar,"ucapnya.

Swasembada pangan niscaya adalah salah-satu pilar pokok kemandirian suatu bangsa. Sudah seberapa jauhkah kita sebagai bangsa melenceng dari itu? Kiranya di hari ulangtahun Indonesia yang ke-77 tahun ini, setiap pemangku kebijakan maupun tiap-tiap pemuda pemudinya, semakin tercerahkan dan terberanikan untuk mengambil kebijakan maupun menekuni profesi apapun itu yang juga semakin memerdekakan negeri ini. (Christine Setyadi)

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline