Pernah nggak kamu ngebayangin gimana rasanya mengasuh anak seorang diri? Harus bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan, mengantar anak sekolah, lalu berangkat kerja atau menjalankan usaha demi keberlangsungan hidup.
Lalu, pulang dalam keadaan lelah, tapi masih harus memeriksa PR anak, mendengarkan keluh kesah mereka, dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Itulah kenyataan yang dihadapi para orang tua tunggal, atau sering kita sebut single parent. Mereka memikul dua peran sekaligus: sebagai pencari nafkah dan pengasuh utama. Seorang ayah atau ibu yang harus berdiri di garda terdepan, tanpa pasangan yang biasanya menjadi sandaran.
Berat? Sudah pasti. Tapi di balik berat itu, ada keteguhan hati yang kadang sulit kita bayangkan kalau tidak menyaksikannya sendiri.
Saya pribadi bukan seorang yang sudah menikah, apalagi menjadi orang tua. Namun, saya punya tetangga yang membuat saya sering merenung tentang arti perjuangan seorang single mom.
Sebut saja Lastri, seorang janda dengan dua anak. Suaminya meninggal ketika anak-anaknya masih kecil - yang sulung baru duduk di bangku SD, yang bungsu masih balita. Usianya saat itu pun masih muda.
Bayangkan, di saat luka kehilangan pasangan belum juga kering (sembuh). Tapi, dunia memaksa untuk bangkit dan menata hidup kembali guna menjalankan tanggung jawab besar yang telah menanti.
Hari-hari pertama tentu bukan hal mudah. Tapi kini, setelah bertahun-tahun, saya melihat buah dari keteguhan hatinya. Anak sulungnya sekarang sudah SMA, anak bungsunya pun tumbuh dengan sehat dan cerdas.
Dari jasa laundry kecil-kecilan yang ia rintis, kini ia bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan menabung. Belum lama ini, ia berhasil membeli sebidang tanah untuk masa depan anak-anaknya.
Yang membuat saya benar-benar salut adalah pilihan hidupnya. Beberapa kali ia pernah mendapat ajakan menikah lagi. Tapi ia menolak. Katanya, dia sudah terbiasa mandiri. Hidup bersama anak-anak sudah cukup membuatnya bahagia.