Lihat ke Halaman Asli

PDKT: Antara Nyali, Rasa, dan Kejelasan

Diperbarui: 25 Juli 2025   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua insan dalam momen PDKT, saling membaca tanda dan rasa—antara harapan, tanya, dan kemungkinan arah hubungan. (Foto: Mircea Iancu/Pixabay)

PDKT (pendekatan) bukan sekadar fase menuju cinta. Ia adalah proses yang kalau dilihat lebih jernih, sebenarnya mencerminkan bagaimana kita memandang diri sendiri, orang lain, dan relasi yang ingin kita bangun.

Namun sayangnya, dalam budaya populer, PDKT sering disederhanakan jadi taktik tarik-ulur, tebak-tebakan sinyal, dan permainan insting semata. Padahal, jika direnungkan lebih dalam, PDKT adalah cerminan dari karakter dan niat seseorang. Ia bisa menunjukkan seberapa dewasa kita dalam memelihara harapan - baik harapan orang lain, maupun harapan kita sendiri.

Dalam kultur kita, ungkapan perasaan sering dibungkus dengan sinyal samar. Banyak orang takut dianggap bucin, terlalu agresif, atau terlalu berharap. Akibatnya? Komunikasi jadi ruwet, padahal yang dibutuhkan hanyalah satu hal: keterbukaan.

PDKT menjadi arena di mana banyak orang berakting, bukan jadi diri sendiri. Yang pendiam jadi sok asik. Yang nggak pernah baca buku tiba-tiba suka puisi. Tapi setelah jadian atau makin kenal, topeng itu lepas. Dan kecewanya bukan karena orang itu berubah - tapi karena dari awal tidak jujur siapa dirinya sebenarnya.

Kita sering membahas soal "ilfeel" saat PDKT, tapi jarang membahas soal kenapa orang bisa menampilkan citra yang bukan dirinya sendiri hanya untuk disukai. Dan dari situ, kita seharusnya bertanya: apakah kita ingin dicintai karena versi palsu dari diri kita, atau karena kita apa adanya?

PDKT dan Problem Literasi Emosional

Masyarakat kita masih punya PR besar soal literasi emosi. Banyak yang salah kaprah memahami rasa suka sebagai hak untuk memiliki. Padahal, suka bukan berarti harus dimiliki. Terkadang perasaan cukup untuk dirayakan dalam diam, tanpa harus diklaim.

Banyak orang kecewa saat PDKT kandas, bukan karena patah hati, tapi karena merasa "sudah investasi banyak." Ini cara pandang transaksional terhadap hubungan. Seolah, jika aku sudah perhatian, maka kamu wajib membalas. Seolah cinta itu seperti beli pulsa: pasti ada balasan.

Padahal, cinta yang sehat bukan tentang imbal-balik instan, melainkan tentang kematangan menghadapi kemungkinan: bisa lanjut, bisa tidak. Dan kalau tidak, itu bukan berarti kita gagal. Tapi mungkin - kita sedang belajar mencintai dengan cara yang lebih benar.

Apakah PDKT Selalu Harus Berujung Jadian?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline