Siapa sangka, perjalanan "healing" bareng komunitas malah jadi salah satu petualangan paling berkesan dalam hidup saya. Bukan karena mewahnya tempat tujuan, tapi karena perjuangan menuju ke sana, ditambah bumbu-bumbu dramatis yang datangnya belakangan.
Perjalanan ini saya lalui di tahun 2016 lalu. Saya kembali teringat dengan kenangan kala itu, usai membaca topik pilihan di Kompasiana - perihal kendaraan yang menjali teman perjalanan. Maka, saya putuskan untuk berbaginya di sini.
Hari itu, saya dan teman-teman dari komunitas Pemuda Peduli Lingkungan dan Alam (Pemula) diajak ikut promosi wisata ke salah satu air terjun indah di Kabupaten Way Kanan, Lampung: Curup Putri Malu.
Kami bergabung dengan komunitas motor trail dan beberapa orang dari Dinas Pariwisata. Meski belum punya motor pribadi saat itu, aku tetap bisa ikut karena dibonceng temanku.
Perjalanan dimulai dari jalan Lintas Sumatera - SMAN 1 Baradatu menuju Pasar Banjit, Kecamatan Banjit. Kami mampir di rumah salah satu anggota komunitas motor trail, kami disambut dengan teh hangat dan jajanan tradisional. Obrolan hangat jadi pelepas penat sebelum melanjutkan ke jalur yang lebih menantang.
Lalu, perjalanan dilanjutkan dari Lapangan Merdeka Banjit menuju Kampung Juku Batu, Kecamatan Banjit. Lebih tepatnya ke kawasan Hutan Lindung Bukit Punggur - Register 24, tempat Curup Putri Malu berada. Jaraknya sekitar 35-40 km, dengan waktu tempuh 1 sampai 1,5 jam menggunakan motor.
Awalnya saya naik motor bebek bersama seorang teman. Tapi saat tahu ada anggota perempuan yang membawa motor matic, dan kami khawatir dia bakal kesulitan di medan sulit, saya pun spontan menawarkan diri untuk menukarnya. Dia akhirnya dibonceng temanku, dan saya yang bawa motor matic-nya.
Bagi yang membawa mobil bisa banget ke sini, nanti di perkampungan terakhir bisa sewa ojek. Biasanya ada jasa ojek kopi namanya, satu motor dikenakan tarif sebesar Rp. 100.000 (ini dulu ya, nggak tahu kalau sekarang).
Medan awal masih ramah - aspal mulus dan sedikit jalan kerikil. Tapi tak lama, jalur berubah drastis: jalan berbatu, tanah merah, dan tanjakan ekstrem yang bikin tangan pegal dan konsentrasi penuh. Untungnya waktu itu cuaca mendukung. Matahari cukup cerah, semangat kami tetap terjaga.
Kendati demikian, disepanjang perjalanan mata kami dimanjakan oleh pemandangan indah nan mempesona. Aroma bunga kopi yang khas (karena kala itu bertepatan dengan musim kopi), sepoi angin, hingga panorama dusun dari atas bukit.