Lihat ke Halaman Asli

Syam Rino

Mahasiswa

Krisis Literasi di Era Media Sosial di Kalangan Mahasiswa

Diperbarui: 6 Oktober 2025   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era media sosial yang serba cepat dan penuh informasi, kemampuan literasi seharusnya menjadi bekal utama bagi mahasiswa. Ironisnya, justru di kalangan pelajar inilah gejala krisis literasi mulai tampak. Banyak mahasiswa lebih akrab dengan berita viral dan konten hiburan dibandingkan dengan bacaan ilmiah atau sumber informasi yang kredibel. Fenomena ini bukan sekedar masalah minat baca, tetapi cerminan dari cara berpikir generasi muda dalam memandang informasi.

Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) kini menjadi sumber informasi utama bagi banyak mahasiswa. Dalam hitungan detik, mereka dapat mengetahui isu terkini, dari politik hingga gosip selebriti. Namun, kemudahan ini sering kali tidak diimbangi dengan kemampuan untuk memilah dan memverifikasi kebenaran informasi. Akibatnya, berita palsu, hoax, dan misinformasi mudah tersebar, bahkan di lingkungan kampus yang seharusnya menjadi pusat pengetahuan.

Fenomena lain yang memperparah krisis literasi di kalangan mahasiswa adalah gaya belajar instan yang semakin merajalela. Banyak mahasiswa kini enggan membaca sumber bacaan panjang karena dianggap membuang waktu. Mereka lebih memilih mencari jawaban cepat di media sosial, menonton video ringkasan di YouTube, caption singkat, pergi ke kolom komentar untuk mencari ringkasan video, thread pendek atau bahkan menggunakan AI (Artificial Intelligence) untuk menyusun tugas tanpa memahami isinya. Budaya serba cepat ini menumbuhkan kebiasaan berpikir dangkal dan menurunkan rasa ingin tahu. Padahal, membaca secara mendalam bukan hanya soal memahami teks, tetapi juga membentuk daya analisis, dan kesabaran. Akibatnya, kemampuan analisis dan berpikir kritis pun menurun. Mereka cepat menilai sesuatu hanya dari judul atau potongan video tanpa memahami konteksnya.

Selain itu, algoritma media sosial turut memperburuk keadaan. Sistem rekomendasi konten cenderung menampilkan hal-hal yang disukai pengguna, di mana mereka hanya melihat sudut pandang yang sama terus-menerus. Hal ini berbahaya, karena bisa menurunkan kemampuan untuk berpikir terbuka dan berdialog dengan argumen yang berimbang.

Padahal, literasi di era digital bukan hanya soal kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara bijak. Mahasiswa perlu sadar bahwa setiap klik, unggahan, dan komentar memiliki dampak sosial. Tanpa literasi yang kuat, mereka bisa mudah terprovokasi, menyebarkan hoax, atau bahkan menjadi bagian dari arus informasi yang menyesatkan.

Untuk mengatasi masalah ini, dunia kampus harus mengambil peran aktif. Dosen bisa mulai menanamkan pendidikan literasi digital melalui tugas berbasis riset dan analisis sumber. Perpustakaan kampus juga perlu beradaptasi dengan menyediakan sumber bacaan digital yang mudah diakses mahasiswa. Di sisi lain, organisasi mahasiswa dan komunitas literasi bisa menjadi ruang kreatif untuk menumbuhkan kembali budaya membaca dan berdiskusi.

Namun, yang paling penting adalah kesadaran individu. Mahasiswa harus menyadari bahwa literasi bukan sekadar kewajiban akademik, melainkan bagian dari karakter intelektual. Mampu menilai mana informasi yang valid dan mana yang manipulatif adalah bentuk kecerdasan yang sesungguhnya. Di tengah derasnya arus informasi, kemampuan berpikir kritis dan etika digital menjadi tameng utama agar tidak terseret arus kebodohan massal yang terselubung dalam kecanggihan teknologi.

Krisis literasi di kalangan mahasiswa adalah peringatan bahwa kemajuan teknologi tidak otomatis membuat manusia menjadi lebih cerdas. Justru di era informasi inilah, kemampuan membaca, memahami, dan berpikir kritis menjadi semakin penting. Media sosial boleh menjadi sarana berbagi, tetapi tanggung jawab untuk mencari kebenaran tetap ada di tangan penggunanya. Jika mahasiswa tidak lagi mampu berpikir kritis dan menilai informasi dengan cermat, maka masa depan dunia akademik akan kehilangan makna sejatinya sebagai tempat tumbuhnya nalar dan pengetahuan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline