Lihat ke Halaman Asli

Mereka Berebut, Kita Dibodohi: Gerakan Anti-Tembakau, Alat Kolonialisme Baru

Diperbarui: 7 Oktober 2025   13:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi petani tembakau (Sumber: Kompas.com/Pexels/Setengah Lima Sore)

Paradoks Tembakau: Distigmatisasi di Sini, Dipuja di Laboratorium Seberang Sana

Tembakau adalah salah satu tanaman paling paradoksal di dunia modern. Ia dikutuk di ruang publik dunia selatan, tetapi dipuja di ruang laboratorium dunia utara. 

Selama puluhan tahun, kampanye kesehatan global menempatkannya sebagai biang penyakit, simbol ketergantungan, dan penyebab kemiskinan. Namun di balik stigma itu, tembakau justru menjadi rebutan industri farmasi dan bioteknologi global.

Daun yang distigmatisasi di sini justru berubah menjadi emas di sana. Spesies nicotiana tabacum dan nicotiana benthamiana kini digunakan secara luas untuk menghasilkan antibodi, enzim terapi, hingga vaksin. 

Sifat biologisnya yang mudah tumbuh, cepat panen, dan responsif terhadap rekayasa genetik menjadikannya media ideal dalam produksi protein terapeutik. Dengan kata lain, tanaman yang didemonisasi sebagai sumber penyakit diam-diam disulap menjadi sumber penyembuhan.

Di Indonesia, tembakau telah menjadi bagian dari budaya agraris selama berabad-abad. Ia tumbuh dalam siklus ekonomi dan ritual masyarakat, bukan sekadar komoditas. 

Namun dalam pandangan laboratorium di Amerika, Jepang, atau Jerman, tembakau adalah biofactory, pabrik biologis bernilai tinggi. Ironinya, ketika petani di Temanggung kehilangan harga, para ilmuwan di utara dunia justru memanen nilai tambah ilmiahnya.

Narasi kesehatan publik yang dominan selama ini membuat masyarakat di negara produsen tidak menyadari potensi pengetahuan dan ekonomi yang terkandung di balik daun ini. 

Seolah-olah satu-satunya nasib tembakau adalah menjadi rokok yang begitu pun dikonstruksikan sebagai penyebab tunggal penyakit. Padahal, di baliknya tersembunyi agenda dan kepentingan industri bioteknologi bernilai miliaran dolar.

Jika dulu kolonialisme datang menjarah rempah, kini kolonialisme baru datang menjarah gen. Dan, sekali lagi, bangsa-bangsa di selatan menjadi penonton dalam drama perebutan nilai yang tumbuh di tanahnya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline