Pada pertengahan Agustus 2025, aku membaca buku berjudul Ayah, Bolehkah Aku Membencimu karya Safi Sahri. Aku membelinya dari Gramedia Rita Supermall Purwokerto secara tidak sengaja saat berjalan-jalan di selasar rak buku Self Improvement. Sebenarnya aku sudah sering melihat konten-konten tentang buku itu, tapi aku belum terdorong untuk membelinya.
Malam harinya, aku membaca buku itu, selembar demi selembar. Tidak terasa, selama aku membaca air mataku meluncur deras. Aku merasa setiap ungkapan di sana bukan sekadar kata-kata, tapi bahasa dari jiwa yang membuat aku ikut larut di dalamnya. Apalagi aku juga termasuk orang yang mengalami fatherless.
Sewaktu pertama melihat buku ini, aku kira nantinya aku akan mempertanyakan apakah boleh membenci seorang ayah atau tidak. Ternyata aku keliru. Buku ini membahas lebih dalam lagi. Ada 10 mozaik di buku ini. Di bagian pertama, Safi Sahri menceritakan betapa jarangnya ia berbagi cerita dengan ayahnya. Saat membacanya, aku terdiam cukup lama karena aku sendiri juga jarang berbagi cerita dengan ayah.
Ayah seperti orang asing yang rasa-rasanya sungkan sekali untuk mengajakku bicara. Aku pun terlalu takut dan segan untuk memulai pembicaraan. Kalaupun ada kesempatan untuk mengobrol, itu tidak lebih dari sekadar basa-basi saja.
Di bagian yang lain, Safi Sahri menceritakan tentang keinginannya menjadikan ayah sebagai rumah untuk kembali. Menurutnya, rumah bukanlah sebuah bangunan, tapi orang-orang yang bisa memberikan kenyamanan dan tak mendatangkan ketakutan. Banyak anak yang tidak benar-benar memiliki rumah untuk pulang sehingga mereka mencari rumah-rumah lain yang bisa mendatangkan ketenangan dan ketentraman.
Kebanyakan orang tua hanya berpikir bahwa anak cukup dibesarkan saja dan dipenuhi kebutuhan-kebutuhan zahirnya. Padahal, manusia memiliki dua hal: fisik dan jiwa. Makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal memang hal-hal yang diperlukan oleh fisik. Namun, jiwa manusia memerlukan perhatian, kasih sayang, dan teladan.
Seorang anak pun demikian. Ia memerlukan kasih sayang dan perhatian dari ayahnya. Tak peduli apakah itu anak laki-laki atau perempuan, mereka membutuhkan hadirnya peran ayah dalam tumbuh kembangnya.
Buku Ayah, Bolehkah Aku Membencimu? sebenarnya berusaha menyingkap kebimbangan seorang anak yang kehilangan peran dari ayahnya. Ia merasa marah, kecewa, dan benci. Ia ingin meluapkannya dalam bentuk kebencian. Akan tetapi, ia sadar, biar bagaimanapun, ayah tetaplah ayah. Dialah yang menjadi sebab seorang anak menjadi ada. Karena itu pula membencinya merupakan hal yang tidak seharusnya. Di sinilah premis buku ini dibangun.
Bicara soal ilustrasi, semua karakter ilustrasi di buku ini sangat menarik dan eye catching. Karakter yang diciptakan mampu membentuk visualisasi cerita yang disampaikan oleh penulis. Untuk pembaca yang membutuhkan jeda saat menelan informasi, adanya ilustrasi sungguh sangat membantu. Aku juga suka dengan konsepnya yang minimalis yang menampilkan dua warna. Simpel dan tidak rumit ketika dicerna.
Dari buku ini, paling tidak aku merasa ditemani. Aku akhirnya sadar bahwa luka yang aku rasakan hari ini akibat kehilangan peran ayah ternyata tak hanya kualami sendiri. Di luar sana, masih banyak anak-anak yang merasakan hal serupa. Bedanya, Safi Sahri berhasil menuliskannya, sedangkan aku dan anak-anak lain tidak menuangkannya.