Lihat ke Halaman Asli

Heri Purnomo

wiraswasta

Kembalilah Liverpoolku seperti yang Dulu Lagi

Diperbarui: 28 Oktober 2019   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Teman, saya adalah Liverpudlian sejati. Liverpudlian adalah julukan untuk penggemar setia Liverpool FC, sebuah klub sepakbola besar yang berasal dari kota pelabuhan Liverpool, Inggris. Jangan tanya sebesar apa cinta saya kepada klub sepakbola yang bermarkas di stadion Anfield itu.

29 Mei tahun 1985 adalah awal mula saya menonton aksi anak-anak Liverpool di atas lapangan hijau. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP kelas 1. Pertandingannya disiarkan secara langsung oleh TVRI, satu-satunya stasiun TV pada saat itu di Indonesia

Itu adalah final Piala Champion antara Juventus vs Liverpool yang diawali oleh tragedi yang tercatat sebagai salah satu yang paling kelam dalam sejarah sepakbola. 39 orang pendukung Juventus meninggal dunia pada saat itu akibat tembok stadion yang runtuh dan ulah hooligans. Hooligans kalau diterjemahkan secara bebas artinya adalah Bonek.

Meskipun pada akhirnya Liverpool kalah dalam pertandingan tersebut, saya mulai jatuh cinta pada si hidung betet Ian Rush tatkala meliuk-liuk di antara para pemain Juventus, Kenny Dalglish, Keevin Keegan, dan juga si botak kiper tim nasional Zimbabwe Bruce Grobelaar.

Meskipun akibat kejadian tersebut saya tak bisa lagi menyaksikan tim kesayangan saya dan juga tim-tim Inggris yang lain di pentas Eropa selama 5 tahun lamanya, saya masih bisa menyaksikan Liverpool di final Piala FA atau pertandingan-pertandingan lain yang kerap disiarkan TVRI pada saat itu. Sejak kejadian di stadion Heysel, Brussel, Belgia itu, saya merasa mulai jatuh cinta pada Liverpool.

Liverpool adalah klub sepakbola paling sukses di Inggris Raya. Kedigjayaannya di Inggris dan Eropa membuatnya bergelimang gelar. Dari tahun ke tahun Liverpool nyaris tidak pernah tanpa gelar. Kalian harus tahu, sebelum tahun 1990, Manchester Unitednya Sir Alex Ferguson bukanlah siapa-siapa.

Menginjak tahun 1990, semua cerita sukses Liverpool berakhir. Itu adalah tahun terakhir Liverpool menjadi juara Liga Inggris. Cerita selanjutnya adalah milik Manchester United (MU) yang seolah-olah menjadi penguasa tunggal di daratan Inggris selama bertahun-tahun lamanya.

Dari sejak era Premiere League bergulir tahun 1992 hingga saat ini, MU berhasil menjadi juara sebanyak 13 kali, disusul Chelsea 5 kali, Manchester City 4 kali, Arsenal 3 kali, lalu Blackburn Rovers dan Leicester City masing-masing 1 kali, sementara Liverpool belum sekalipun!

Kenyataan ini terasa begitu pahit dan menyakitkan bagi tim yang sudah terbiasa menjadi juara seperti Liverpool dan para penggemarnya di mana pun berada, termasuk saya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan ke bulan, bahkan tahun ke tahun berikutnya, saya hanya bisa mengelus dada dan dada ini terasa begitu sesak menyaksikan MU begitu mudahnya menumbangkan lawan-lawannya, begitu saja terus dari musim ke musim. Alangkah beruntungnya MU memiliki seorang Alex Ferguson.

Di era Premiere League, Liverpool adalah pesakitan. Begitu hinanya Liverpool, dan ini sungguh mengherankan, begitu tertatih-tatihnya sang jagoan ini di rimba belantara kompetisi sepakbola paling elit di negeri Ratu Elizabeth, medan yang selama ini begitu dikenal dan dikuasainya. Tuhan, sampai kapan penderitaan ini akan berakhir?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline