BAGAI pertunjukan sang maestro, pria berpakaian serba hitam dan mengenakan iket/totopong (penutup kepala) menuang kuah ke mangkuk, lalu menumpahkannya kembali sambil menarik cawan perlahan ke atas.
Tujuh kali ia melakukan proses itu. Sinar keemasan matahari pagi menyorot melalui dedaunan menambah syahdu ritual tersebut.
Dukun?
Bukan. Pemandangan menakjubkan terjadi di pinggir jalan. Saya duduk di bangku trotoar dekatnya. Menonton dan menunggu pesanan dibuat.
Trotoar tersebut merupakan salah satu rute olahraga jalan kaki dan terletak tidak jauh dari rumah.
Beberapa kali melaluinya pada pagi hari, saya seringkali melihat pikulan tersebut. Satu bagian berisi bahan-bahan, pada kotak lainnya terletak dandang dengan kayu bakar di bawahnya.
Dandang isi kuah laksa Bogor (dokumen pribadi)
Laksa. Pikulan penjual laksa Bogor di jalur hijau tepi jalan Tentara Pelajar, Kota Bogor. Ke arah dalamnya terdapat jalur pejalan kaki dengan bangku taman di beberapa titik.
Laksa Bogor termasuk jenis makanan khas yang sekarang jarang saya jumpai. Dulu, tahun 1980an, penjaja laksa berkeliling di permukiman. Bila keinginan meronta, saya cukup memanggil mamang penjual.
Meskipun sebagai pendatang baru pada saat itu, saya menyukai cita rasa laksa. Suatu rasa yang tidak mudah saya temukan di Malang, Jawa Timur. Porsinya pun tidak terlalu besar, cukup nendang tapi tidak menyesaki perut. Cocok untuk kudapan pagi atau sore.