Bangsa ini selalu berjalan di atas pijakan masa lalu dan masa kini. Arah generasi mendatang tidak mungkin dilepaskan dari apa yang kita alami hari ini. Setiap kebijakan, setiap keputusan politik, dan setiap praktik kekuasaan yang berlangsung, akan membentuk wajah Indonesia ke depan.
Dalam teori demokrasi, kekuasaan selalu dimaknai sebagai sesuatu yang harus dikendalikan. Demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin lewat pemilu, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu dijalankan sesuai aturan. Di sinilah pentingnya prinsip separation of powers atau pemisahan kekuasaan, sebagaimana digagas Montesquieu, agar eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak saling mendominasi. George Jellinek bahkan menekankan bahwa kekuasaan negara seharusnya dijalankan dalam batas hukum, sehingga tidak berubah menjadi alat penindasan. Karena itu, hukum berfungsi bukan sekadar peraturan tertulis, tetapi pagar yang menjaga agar kekuasaan tidak merusak rakyatnya.
Namun, apa yang seharusnya terjadi seringkali berjarak dengan kenyataan. Publik menyaksikan bagaimana Mahkamah Konstitusi yang seharusnya berdiri tegak sebagai pengawal konstitusi malah terkesan diacak-acak demi kepentingan politik tertentu. Perubahan aturan batas usia calon presiden dan wakil presiden demi memberi jalan bagi pasangan tertentu, menjadi bukti bahwa benteng hukum bisa dilenturkan sesuai kehendak penguasa. Dari sini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum pun terkikis.
Di ranah politik praktis, munculnya calon presiden dan wakil presiden yang berasal dari lingkaran kekuasaan menimbulkan perasaan bahwa demokrasi kita semakin jauh dari cita-cita awal. Nepotisme yang dulu dikritik di masa lalu, kini hadir kembali dengan wajah baru. Janji-janji populis seperti program makan bergizi gratis justru dinilai amburadul dalam pelaksanaan. Alih-alih memberi solusi nyata, kebijakan ini memperlihatkan betapa seringnya rakyat hanya dijadikan objek kampanye, bukan subjek yang diberdayakan.
Di sisi lain, DPR yang seharusnya menjadi lembaga pengawas justru kerap dianggap hanya menjadi stempel bagi kebijakan eksekutif. Hampir tidak ada representasi yang kuat dari kalangan kiri atau rakyat kecil. Hal ini membuat fungsi pengawasan melemah dan suara kritis dari masyarakat sulit menembus ruang parlemen. Padahal, tanpa pengawasan yang sehat, eksekutif akan semakin leluasa menggunakan kekuasaan sesuai kepentingannya.
Kondisi ini diperparah oleh dinamika global. Krisis pangan, ketegangan geopolitik, dan perubahan iklim menuntut generasi muda Indonesia bersiap menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Namun di saat yang sama, energi bangsa justru terkuras pada persoalan politik dalam negeri yang tidak kunjung selesai.
Membaca masa lalu, menafsir masa kini
Jika kita menengok ke masa lalu, bangsa Indonesia tidak pernah kekurangan generasi yang cerdas, tangguh, dan berani membawa nama bangsa ke panggung dunia. Pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, Presiden Soekarno mampu meletakkan Indonesia sebagai pelopor gerakan solidaritas bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk menolak kolonialisme. Gagasan itu menjadikan Indonesia bukan hanya penonton, tetapi aktor penting dalam percaturan politik dunia.
Tidak berhenti di sana, Indonesia juga turut menjadi pendiri ASEAN pada tahun 1967, sebuah organisasi kawasan yang hingga kini menjadi salah satu tonggak diplomasi regional. Di era Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri, Indonesia bahkan berani berdebat di panggung internasional, menunjukkan bahwa kita punya diplomat muda yang berwibawa, intelektual, dan mampu menyuarakan kepentingan bangsa. Semua ini adalah bukti bahwa sejarah Indonesia dipenuhi generasi yang tidak hanya berani, tetapi juga berpikir strategis.
Namun, pertanyaan besar muncul: mengapa hari ini generasi yang ditawarkan justru dipersonifikasikan pada sosok seperti Gibran? Seorang wakil presiden yang dalam pernyataannya sendiri mengaku tidak suka membaca. Padahal, membaca dan menalar adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin dalam memahami kompleksitas negara. Hal ini menimbulkan kesan bahwa standar kepemimpinan kita semakin rendah, lebih ditentukan oleh garis keturunan politik daripada kualitas intelektual.