Lihat ke Halaman Asli

bonaventura soares

Mahasiswa Kesmas

Bali dihantam banjir bandang : Peringatan Keras dari alam yang terluka

Diperbarui: 15 September 2025   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bali Dihantam Banjir Bandang: Peringatan Keras dari Alam yang Terluka

Bali, sebuah nama yang tak lekang dari citra surga dunia, kini harus berhadapan dengan realita yang jauh dari keindahan. Pada pekan kedua September 2025, hujan lebat yang tak henti mengguyur telah mengubah lanskap pulau ini menjadi arena duka. Sungai-sungai meluap, jalanan berubah menjadi arus deras, dan rumah-rumah hancur diterjang banjir bandang yang disebut-sebut sebagai yang terparah dalam dua dekade terakhir. Bencana ini bukan hanya sekadar fenomena alam, melainkan sebuah narasi kompleks tentang alam yang terluka dan pembangunan yang abai.

Laporan resmi mencatat setidaknya 17 orang meninggal dunia dan lima lainnya masih dinyatakan hilang. Ratusan keluarga harus mengungsi, meninggalkan harta benda mereka yang kini telah luluh lantak. Di Denpasar saja, 37 sekolah dasar dan menengah tak luput dari amukan air. Tembok-tembok roboh, ruang kelas tergenang lumpur, dan buku-buku yang seharusnya menjadi jendela ilmu kini basah terendam. Pemandangan anak-anak yang kembali ke sekolah tanpa seragam adalah bukti nyata bahwa bencana ini bukan hanya merenggut nyawa, tetapi juga mengancangkan masa depan generasi muda.

Hujan Ekstrem: Sinyal Alam yang Tak Terbendung

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan di beberapa titik mencapai lebih dari 200 mm dalam periode singkat, jumlah yang setara dengan curah hujan bulanan. Fenomena atmosferik yang melibatkan pergerakan awan dari Samudera Hindia, diperparah oleh pola sirkulasi regional, telah menciptakan hujan ekstrem yang turun tanpa jeda.

Dalam istilah hidrologi, intensitas hujan yang tinggi dan durasi yang panjang adalah resep sempurna bagi bencana. Debit sungai naik drastis hanya dalam hitungan jam, menghantam tebing-tebing, menyeret bangunan, dan bahkan meruntuhkan jembatan. Namun, para ahli dan masyarakat lokal sepakat bahwa hujan ekstrem hanyalah pemicu. Pertanyaan krusialnya adalah, mengapa Bali, sebuah pulau yang terkenal dengan sistem pengelolaan air tradisionalnya, begitu rentan?

Sungai yang Tercekik dan Subak yang Tergerus

Jawabannya terletak pada transformasi drastis bentang alam Bali. Selama dua dekade terakhir, Bali telah mengalami tekanan pembangunan yang luar biasa. Sawah berundak yang menjadi ikon sistem subak sebuah sistem irigasi tradisional yang diakui UNESCO, kini digantikan oleh vila, hotel, dan pusat perbelanjaan. Lahan resapan air semakin menipis, sementara sistem drainase perkotaan gagal mengimbangi laju pertumbuhan beton yang begitu pesat.

Tak hanya itu, banyak bantaran sungai telah dibangun tanpa memperhatikan aturan sempadan, mempersempit jalur aliran air. Kondisi ini diperparah oleh tumpukan sampah dan sedimentasi. Akibatnya, ketika hujan ekstrem tiba, air yang seharusnya mengalir di sungai kehilangan jalannya. Ia kemudian mencari jalannya sendiri, menerobos masuk ke rumah-rumah, jalan raya, hingga pasar tradisional.

"Banjir ini bukan hanya karena langit. Ini karena kita menutup jalan air dengan tembok-tembok kita sendiri," ujar I Wayan Suarsa, seorang tokoh subak di Gianyar, dengan nada getir.

Dampak Sosial: Melumpuhkan Kehidupan Sehari-hari

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline