Mohon tunggu...
bonaventura soares
bonaventura soares Mohon Tunggu... Mahasiswa Kesmas

Saya aktivis sosial, mahasiswa kesmas serta mashasiswa doktoral. hoby saya menulis, treveling, baca serta makan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bali dihantam banjir bandang : Peringatan Keras dari alam yang terluka

15 September 2025   12:12 Diperbarui: 15 September 2025   12:12 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selain korban jiwa, banjir ini meninggalkan luka sosial yang mendalam. Anak-anak yang kehilangan seragam, pedagang di Pasar Badung yang menyaksikan barang dagangannya hanyut, dan petani yang kehilangan panennya, semuanya menghadapi kenyataan pahit. Ni Ketut Sari, seorang pedagang di Pasar Badung, menceritakan, "Kami hanya sempat lari menyelamatkan diri. Dagangan hanyut semua." Sementara itu, para petani kini harus menghadapi kerugian besar. Sawah yang seharusnya menjadi sumber penghidupan dan penahan air kini musnah tergenang.

Banjir di Bali, dengan demikian, bukan hanya sekadar tragedi ekologis, tetapi juga tragedi sosial-ekonomi yang melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Sorotan Internasional: Ironi Pulau Surga

Bencana ini dengan cepat menarik perhatian media internasional, termasuk BBC dan Reuters. Mereka menyoroti ironi yang terjadi: pulau pariwisata dunia yang menjual citra harmoni dengan alam justru kalah oleh air bah. Beberapa laporan menyebut banjir ini sebagai "wake-up call" atau peringatan keras bahwa pariwisata yang bertumpu pada alam tidak akan berkelanjutan jika pembangunan mengabaikan keseimbangan ekologi. Dunia melihat Bali sebagai contoh nyata bagaimana perubahan iklim global bersinergi dengan kesalahan tata ruang lokal untuk menciptakan bencana yang dahsyat.

Jalan ke Depan: Reformasi Tata Ruang yang Mendesak

Bencana ini mengajarkan kita bahwa masalah lingkungan dan hidrometeorologi saling berkaitan. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Jika hanya salah satu faktor yang ada, dampaknya mungkin terbatas. Namun, ketika keduanya bertemu hujan ekstrem dan degradasi lingkungan hasilnya adalah bencana yang meluas dan sulit dikendalikan.

Para pakar lingkungan kini menyerukan langkah-langkah reformasi tata ruang yang mendesak:

  1. Audit Tata Ruang: Menghentikan pembangunan di sempadan sungai dan daerah resapan.
  2. Restorasi Subak: Mengembalikan fungsi ekologis subak, bukan hanya fungsi estetika.
  3. Pengelolaan Sampah Terpadu: Mencegah sungai menjadi tempat pembuangan limbah.
  4. Infrastruktur Hijau: Membangun taman kota dan kolam retensi sebagai penahan air alami.
  5. Sistem Peringatan Dini: Memperkuat jalur evakuasi dan peringatan dini bagi masyarakat.

Profesor Made Astawa dari Universitas Udayana menegaskan, "Bali harus kembali ke Tri Hita Karana harmoni dengan Tuhan, sesama, dan alam. Jika tidak, kita akan terus menunggu banjir berikutnya."

Tragedi ini bisa menjadi luka panjang bagi Bali, tetapi juga bisa menjadi titik balik yang krusial. Pilihan kini berada di tangan kita: terus membangun tanpa arah ekologis, atau berani mengambil langkah untuk mengembalikan alam sebagai pusat dari peradaban pulau. Air yang menenggelamkan Bali adalah sebuah cermin, yang menunjukkan bagaimana kita telah memperlakukan tanah, sungai, dan lingkungan kita sendiri. Akankah Bali belajar dari air?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun